02/10/14

babad ida dalem tarukan pulasari siva sidhanta

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Agama Hindu merupakan agama tertua diantara sekian banyak agama yang ada dianut oleh manusia. Sejarah perkembangan agama Hindu sangatlah penting diketahui untuk memahami jejak awal hingga kini mengenai keberadaan agama Hindu yang dianut oleh umat manusia di dunia.
Suatu ciri utama kehidupan dalam ber-Agama Hindu adalah percaya dan bakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan-Nya tidak terbatas sedangkan kemampuan manusia sangat terbatas.
Manusia dalam ketidaksempurnaannya selalu ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa agar memperoleh perlindungan dan petunjuk dalam menempuh kehidupan. Mereka yang memahami pengertian ini menjadi manusia yang mulia karena senantiasa mengutamakan ke-Tuhanan dalam tatanan kehidupannya.
Dalam Bhagwadgita dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia berdasarkan yadnya dan sebagai sumber kehidupan manusia Tuhan menciptakan alam. Oleh karena itu selalu diupayakan menjaga keharmonisan antara: Tuhan – Manusia – Alam melalui yadnya.
Manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan jalan yadnya memerlukan sarana antara lain Pura dan Sanggah Pamrajan.



1.2.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penyusunan makalah ini, yaitu:
1.2.1. Bagaimana sejarah Dadia Sentana Dalem Tarukan ?
1.2.2. Apa pengertian Merajan dan bagaimana pemahamannya ?
1.2.3. Bagaimana fungsi dan makna pelinggih di masing masing merajan ?

1.3.Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, yaitu:
1.3.1. Untuk mengetahui sejarah Dadia Sentana Dalem Tarukan.
1.3.2. Untuk mengetahui arti dari sebuah Merajan.
1.3.3. Untuk mengetahui fungsi dan makna pelinggih dalam merajan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Dadia Sentana Dalem Tarukan
INTI SARI BABAD DALEM TARUKAN
Berdirinya pura kawitan Para Gotra Sentana Dalem Tarukan yaitu pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan di Dusun Pulasari Desa Peninjauan Tembuku Bangli tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan sejarah perjalanan Ida Bhatara Dalem Tarukan.
A.Sejarah / Babad
Ida Dalem Tarukan bersaudara 5 orang yaitu:
1.Dalem Agra samprangan
2.Dalem Tarukan
3.Dewa Ayu Swabawa
4.Dalem Ketut Ngulesir
5.I Dewa Tegal Besung
Ayah beliau bernama Sri Aji Dalem Kresna Kepakisan, menjadi raja di Bali tahun 1272 berkedudukan di Puri samprangan Gianyar dan membawa senjata utama yang bernama keris Ki Tanda Langlang.
Setelah Ida Dalem Tarukan dewasa, Ida membangun Puri di Tarukan Pejeng Gianyar, Ida disana bersama istri dari Lempuyang Madya (Bukit Gamongan). Ditemani oleh putra angkat beliau yang Rakriyan Kuda Pinandang Kajar putra Dalem Blambangan, ditemani pula oleh masyarakat dan mahapatih yang setia kepada Ida Dalem Tarukan.
Diceritakan pada saat Kuda Pinandang kajar sakit keras sulit disembuhkan Ida Dalem Tarukan terlanjur ngomong bahwa apabila Kuda Pinandang Kajar bisa sembuh seperti semula akan dijodohkan dengan Dewa Ayu Muter (putri Dalem samprangan). Setelah Ida Dalem Tarukan ngomong demikian ternyata Rakriyan Kuda Pinandang Kajar sembuh. Akhirnya Ida Dalem Tarukan mewujudkan kata-katanya menikahkan Dewa Ayu Muter dengan Rakriyan Kuda Pinandang Kajar tanpa sepengetahuan Dalem Samprangan.
Entah apa yang mempengaruhi kejadian itu membuat Ida Dalem Samprangan marah lalu memerintahkan mengirim pasukan, sebanyak lebih dari tiga ribu orang menyerang ke Puri Pejeng. Mengetahui berita itu untuk menghindari terjadi perang maka Ida Dalem Tarukan mundur meninggalkan puri dan istri yang sedang hamil 6 bulan pergi mengungsi ke desa-desa di pegunungan. 
Tempat-tempat pengungsian tersebut sampai sekarang bisa ditelusuri, pada awalnya beliau sampai di desa Taro Gianyar, selanjutnya ke Subak Pulesari sebelah selatan Tampuwagan, Tembuku Bangli. Para pengejar datang beliau bersembunyi menyelinap dalam kumpulan petani yang sedang menanam padi, sedangkan para pengejar terus mengejar kearah utara sampai ke Tampuwagan. Sampai sore tanpa hasil para pengejar akhirnya kembali pulang. Demi keselamatan disinalah beliau pertama kali nyineb wangsa menjelaskan keberadaannya dengan berkata kepada para petani sebagai berikut : “…de cai macokor I dewa teken aku, magusti, majero, dadi apan aku macita urip…” demikianlah beliau berkata. Setelah itu Ida Dalem Tarukan diantar oleh para petani menuju padukuhan (selatan Dusun Pulasari sekarang) beliau diterima oleh Ki Dukuh Pantunan. Beliau tinggal disini cukup lama. Keberadaan beliau tercium oleh pihak puri maka pengejar datang lagi menyisir setiap tempat di pedukuhan Pantunan. Hampir saja beliau tertangkap, beliau bersembunyi menyelinap dibawah rerimbunan kumpulan pohon pisang, jawa jail, dan ada beberapa ekor burung puyuh lalu lalang bercanda, burung perkutut bersuara bersahutan yang melukiskan suasana tak mungkin ada orang diam disana sehingga beliau terselamatkan dari pengejaran. Dalam situasi seperti ini akhirnya Ida Dalem Tarukan berjanji:  
“…nah iba kedis titiran, kedis puwuh muah jawa jali deni jati iba makrana kai idup nah jani seenyah-enyah aku apang sing dadi amangsa iba…”. (ya engkau burung perkutut, burung puyuh dan pohon jawa jali kalau memang karena engkau membuat aku tetap hidup, ya sekarang seketurunanku tidak boleh memangsa engkau).
Merasa tidak aman di Pantunan akhirnya Ki Dukuh Pantunan menyarankan Ida Dalem Tarukan pindah ke Desa Poh Tegeh (wilayah Songan) diterima oleh Ki Gusti Poh Tegeh (Poh Landung). Oleh Ki Gusti Poh Tegeh, Ida Dalem Tarukan ditempatkan di Jenggala Sekar Desa Tegal Bunga diterima oleh Ki Dukuh Dami. Lama Ida Dalem Tarukan tinggal di Padukuhan Bunga sampai punya putra dan putri tujuh orang dari istri yang berbeda yaitu:

1.I Gusti Gde Sekar dan I Gusti Gde Pulasari (Ibunya bernama Gusti Ayu Kwaji putri dari Ki Gusti Poh Tegeh)
2.I Gusti Gde Bandem (Ibunya bernama Jero Sekar putri dari Dukuh Bunga)
3.I Gusti Gde Dangin (Ibunya bernama Jero Dangin putri dari Dukuh Darmaji)
4.I Gusti Gde Belayu (Ibunya bernama Jero Belayu putri dari Mekel Belayu)
5.I Gusti Gde Balangan dan Gusti Ayu Wanagiri (Ibunya bernama Gusti Luh Balangan Putri Gusti Agung Gelgel menjadi putri angkat Gusti Gde Bekung).
Dari padukuhan Bunga Ida Dalem Tarukan bersama anak istri kembali mengungsi menuju Desa Sekahan, Sekar Dadi, Kintamani, Panerojan (panulisan), Balingkang, Sukawana, (wilayah Bangli). Di Sukawana Ida Dalem Tarukan bertemu dengan Dukuh Darmaji yang membawa takilan beras. Oleh karena semua putranya sangat lapar maka Ida Dalem Tarukan meminta beras dalam takilan tersebut untuk diberikan kepada putra beliau. Setelah beras tersebut dimakan, Gusti Ayu Wanagiri sakit perut sampai beliau meninggal. Melihat kejadian ini Ida Dalem Tarukan sangat marah dan menendang takilan beras tersebut sambil mengutuk beras tersebut supaya tumbuh menjadi haa beras dan seketurunannya tidak boleh makan beras. Lalu Gusti Ayu Wanagiri dikubur di Sukawana mengarah kebarat. Kemudian Ida Dalem Tarukan mengungsi ke Desa Panek, Desa Ban, Desa Temakung, Desa Cerucut, Paduning Samudra (Desa Sukadana) semuanya wilayah Karangasem. Di Paduning Samudra ini Ida Dalem Tarukan banyak menerima harta benda dari masyarakat dipegunungan membuat hidup Ida Dalem Tarukan berkecukupan sehingga Paduning Samudra ini dinamai Desa Sukadana. Saat Ida Dalem Tarukan di Sukadana Ida Dalem ingat dengan Gusti Ayu Wanagiri yang meninggal di Sukawana, lalu di aben di Sukawana dibuatkan Bade Tumpang Pitu, Patulangan Gajah Mina maulu kepascima. Atma suci beliau di sthanakan di puncak Bukit Mangu karangasem.
Rupanya Ida Dalem Tarukan selalu ingat dengan istri yang ditinggalkan di Puri Tarukan sedang hamil dan membayangkan putra yang lahir sudah menjadi dewasa. Akhirnya Ida Dalem meninggalkan Sukadana diiring oleh para dukuh menuju Desa Poh Tegeh. Kepada  I Gusti Poh Tegeh (mertuanya) Ida Dalem Tarukan menyampaikan keinginannya untuk kembali ke panegaran. Lalu Ida Dalem Tarukan pergi kearah barat menuju desa (wilayah) Tembuku Bangli. Dari sini Ida Dalem Tarukan memperkirakan/menganalisa (memarna) marahnya Ida dalem Ketut Ngulesir sudah hilang kemudian desa ini diberi nama Desa Sidaparna. Tidak lama Ida dalem Tarukan tinggal di Desa Sidaparna. Dari Desa Sidaparna Ida Dalem Tarukan kembali mengungsi menuju Wetaning Giri Panida. Di Wetaning Giri Panida inilah Ida Dalem Tarukan bersama keluarga cocok untuk tinggal menetap, lalu membangun sebuah puri yang dilengkapi dengan merajan  sebagai huluning karang. Tempat Wetaning Giri Panida ini oleh Ida Dalem Tarukan dinamai Dusun Pulasantun. Sebagai alasannya adalah untuk mengingat tempat putra putrinya yang lahir di Desa Tegal Bunga (jenggala sekar). Dusun Pulasantun tersebut sampai sekarang sudah terkenal dengan nama Dusun Pulasari, Bangli. Disini beliau hidup dengan bercocok tanam palawija. Diceritakan dari istri yang ditinggal saat mengungsi sedang hamil 6 bulan telah lahir seorang putra sudah dewasa rupawan gagah perkasa diberi nama I Dewa Gde Muter, selalu mencari tahu tentang keberadaan ayah beliau. Akhirnya atas ceritra dan petunjuk para pengasuh maka I Dewa Gde Muter pergi menuju pedesaan untuk bertemu dengan ayah beliau. Diceritakan Ida Dalem Tarukan sedang membajak sawah, I Dewa Gde Muter datang memandangi dan mengamati orang yang sedang membajak tersebut. Akhirnya lama mereka saling pandang, sapi penarik bajak lalu tunggang langgang yang membuat Ida Dalem Murka. Kemurkaan tersebut mengakibatkan mereka berdua perang tanding cukup lama tanpa ada yang kalah. Dalam situasi itu tanpa sengaja I Dewa Gde Muter mengucapkan kata-kata yang menunjukkan identitasnya. Setelah tahu identitas orang yang dihadapi betapa kagetnya Ida Dalem karena yang dilawannya ternyata putra sendiri yang sedang dirindukan. Seketika beliau memeluk putranya sambil menangis terharu, timbul rasa penyesalan lalu berdua saling memaafkan. Akhirnya Ida Dalem member nama putranya I Dewa Bagus Darma kemudian dipertemukan dengan adik-adiknya semua. Karena semua putra sudah berkumpul Ida Dalem sudah merasa tenang dan kehidupan di Pulasantun berkecukupan maka beliau tidak berniat lagi untuk kembali ke Puri. Beliau menyarankan kepada putranya untuk tetap tinggal bersama dipedusunan jangan lagi pulang ke panegaran. Nasehat ini sangat dihormati dan dipatuhi oleh putra-putra Dalem semua.
Diriwayatkan sejak muda Ida Dalem Tarukan tidak berminat pada kekuasaan (pemerintahan) beliau lebih tertarik dan menekuni ajaran kedhyatmikan/kerokhanian. Oleh kebanyakan orang hal ini dipandang aneh. Selama perjalanan pengungsian disamping terus menekuni kedhyatmikan beliau juga mengisi waktu dengan bertani dan berkebun. Setelah menetap tinggal di Pulasantun kehidupan spiritualitas beliau mencapai puncaknya beliau melaksanakan kebujanggaan, tempat beliau menjadi pusat patirtaan untuk masyarakat pedusunan dan pegunungan. Menjelang Ida Dalem wafat, Ida memberi pewarah-warah, panugrahann, dan sloka sruti kamoksan kepada putra-putra beliau dan para dukuh semua. Ida Dalem Tarukan wafat pada hari Wraspati Keliwon ukir, Kresna Paksa, Saptami Warsa Isaka Dewa Netra Tri Tunggal (Isaka 1321/1399 M). di upacarai seperti raja dipuja dengan sloka gegaduhan yang dianugerahkan oleh Ida dalem. Upacara palebon dan seterusnya dipuput oleh Ki Dukuh Bunga, Ki Dukuh Pantunan, Dukuh Jati Tuhu, menggunakan sloka sruti panugrahan Ida Dalem Tarukan. Jenasah beliau dibakar di Cungkub (wilayah) Tampuagan. Abunya di hanyut ke tukad Congkang, bablonyohe yang berada pada kelapa gading dipendem di Cungkub Tampuagan lalu kabiakta Ida Dalem Tarukan malingga “Ida I Ratu Dalem Tampuagan”.  Palebonnya Ida Dalem Tarukan pada hari Saniscara Paing, Wuku Warigadean, Kresna Paksa Pancami, Sasih Jesta, Rah Tunggal, Tenggek kalih, Isaka 1321 (1399).
Sebulan kemudian dilaksanakan upacara ngeroras di Pulasari kemudian dilanjutkan dengan upacara ngelinggihang/dinarma Dewa hyang (atma pratista) di Dusun Pulasari. Ida Dalem Tarukan distanakan pada Meru Tumpang Pitu. Setelah semua upacara selesai banyak berupa makanan beras, lungsuran basi sampai rusak (berek) karena tidak habis dimakan oleh masyarakat. Juga berupa uang kepeng menggumpal sukar dilepas sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Disarankan oleh I Dewa Bagus Darma dan adik-adiknya semua beras, makanan, dan uang kepeng yang tidak bisa dimanfaatkan supaya dihanyut (dibuang) ke kali. Yang berupa beras dan makanan dihanyut di kali sebelah barat Dusun Pulasari dan yang berupa uang kepeng dihanyut di kali sebelah timur Dusun Pulasari. Itulah sebabnya sampai sekarang ada tukad Bubuh disebelah barat Pulasari (kalau dihilir dapat dilalui jembatan dipatung gajah Banjar Angkan),  Tukad Jinah disebelah timur Dusun Pulasari dihilir dapat dilalui jembatan sebelah barat SMA Klungkung. Dengan dihanyutkannya sisa-sisa upacara tersebut sampai kehilir sungai, hal ini menjadi berita heboh sehingga beritanya sampai kepada Ida Dalem Ketut Ngulesir di Puri Gelgel.     
Mendengar berita tersebut Ida Dalem Ketut Ngulesir mengirim utusan agar semua keponakan Ida mau tinggal di Puri Gelgel. Namun semua putra Ida Bhatara Dalem Tarukan tidak memenuhi permintaan Dalem Gelgel putra Dalem memegang nasihat Ajinya agar tidak kembali kepanagaran. Mungkin terjadi miss informasi dianggap para keponakannya menentang sehingga Ida Dalem Ketut Ngulesir murka, maka diseranglah putran Ida Dalem Tarukan ke pulasari dipimpin oleh Gusti Kebon Tubuh. Sebelum menyarang ke Pulasari, Gusti Kebon Tubuh beserta bala tentaranya beristirahat (mejanggelan) disebuah desa yang selanjutnya desa tersebut diberi nama Desa Nyangglan wilayah Banjarangkan Klungkung untuk mengatur strategi perang. Dalam perang besar tersebut I Dewa Bagus Darma direbut dipasangi upas sehingga mengalami kekalahan dan wafat di Siang Kangin (Hyang Pupuh) Bangkiangsidem. Setelah I Dewa Bagus Darma wafat akhirnya semua adik-adiknya ditemani oleh ibunya mau datang ke Puri Gelgel sedangkan I Gusti Gde Dangin dan I Gusti Gde Balangan pergi ke Buleleng dan akhirnya menetap di Sudaji. Sebagai catatan: setelah karya agung di pura Puri Agung Pejeng tanggal 27 maret 1996 atas kesepakatan pengempon Linggih Ida Bhatara Putra di Sudaji dengan Semeton PGSDT Bangli maka Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Balangan dilinggihkan di pura Pulasari Bebalang Bangli. Mulai saat itulah pura di dusun Bebalang Bangli diberi nama Pura I Gusti Gde Balangan. Pura ini dibangun pada tahun 1994.
Setelah semua putra Ida Dalem Tarukan berkumpul di Puri Gelgel maka Ida Dalem Ketut Ngulesir memberikan panugrahan mantra sasana yang pada intinya berisi sebagai berikut:
1.I Gusti Gde Sekar ditempatkan di Banjar Sekar Nongan bersama ibunya I Gusti Luh Kwaji dan diberikan tanah sebanyak 15 sikut.
2.I Gusti Gde Pulasari ditugaskan kembali ke Pulasari ngerajegang Puri (Ajinya) Ayahandanya.
3.I Gusti Gde Bandem ditempatkan ke Dukuh Nagasari Bandem.
4.I Gusti Gde Dangin dan I Gusti Gde Balangan pergi ke Buleleng menuju desa Sudaji. Namun setelah karya agung di Pura Puri Agung Pejeng tanggal 27 Maret 1996 atas kesepakatan semeton, Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Balangan di stanakan di Pura Pulasari Bebalang Bangli. Mulai saat itulah pura di Dusun Bebalang diberi nama Pura I Gusti Gde Balangan.
Setelah I Gusti Gde Pulasari wafat juga dilaksanakan upacara pitra yadnya, ngeroras dan roh sucinya didharmakan berdampingan dengan linggih Ida Bhatara Dalem Tarukan di Gedong Pajenengan. Upacara menstanakan Dewa Hyang I Gusti Gde Pulasari dilaksanakan sekitar pertengahan abad ke 15 (1450 M). mulai saat itulah di Pulasari ada dua palebahan, Pura Palebahan duhuran pura Padharman Ida Bhatara Dalem Tarukan (Pura Kawitan Para Gotra Sentana Dalem Tarukan), stana Ida Bhatara Dalem Tarukan pada Meru Tumpang Pitu, piodalan setiap Buda Keliwon Ugu. Di Palebahan andapan pura Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Pulasari di stanakan di gedong Pajenengan, piodalannya setiap Tumpek Krulut. Namun karena beberapa pemikiran semenjam Mahasaba I atas kesepakatan dan panugrahan niskala maka pujawali di kedua palebahan pura ini disatukan menjadi setiap Buda Keliwon Ugu. Namun Pakandel yang mengemban mantri sasana dari Raja Gelgel setiap Tumpek Krulut tetap melaksanakan piodalan alit sebagai peringatan sejarah melanjutkan warisan leluhur pakandel. Karena semakin berkembang dan makin mantapnya kesadaran santanan Ida Bhatara Dalem untuk tangkil ke pura maka tempat untuk sembahyang menjadi terasa sempit, dan pada saat karya Padudusan Agung, Buda Kliwon Ugu nemu purnama tahun 1995 terjadi sembahyang saling berdesakan. Sehingga akhirnya atas kesepakatan pakandel dan pengurus PGSDT maka tahun 1996 tembok penyengker penyekat antara palebahan pura duhuran dan palebahan pura andapan dicapuh dijadikan satu. Namun perbedaan ketinggian natar tampak seperti sekarang menjadi utama mandala duhuran dan utama mandala andapan. Mengingat Pura Padharman di Pulasari merupakan stana Ida Bhatara Dalem Tarukan di utama mandala duhuran dan stana Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Pulasari di utama mandala andapan telah menjadi satu dan untuk linggih Ida Bhatara Putra yang lain sudah ada Pelinggih Gedong Rong Kalih berdampingan dengan Meru Tumpang Pitu, maka Pura Padharman tersebut dinamakan Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan lan Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Pulasari. 

2.1.1Hubungannya Dengan Padharman Dalem Besakih  
Padharman Dalem di Besakih merupakan Padharman satrehan Ida Bhatara Lingsir Sri Aji Dalem Kresna Kepakisan. Ida Bhatara Dalem Tarukan merupakan salah satu putra dari Sri Aji Dalem Kresna Kepakisan maka seketurunan Ida Bhatara Dalem Tarukan patut melaksanakan persembahyangan di Pedharman Dalem di Besakih.




2.2. Pengertian Merajan
Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar= tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja= keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan.
Merajan atau Sanggah dalam sebuah keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci, yang berdasarkan konsep Tri Angga, Tri mandala, dan juga tri hita karana. Merupakan sebuah tempat untuk memuja Tuhan dan juga roh leluhur. Dasar dari Tri Angga, Merajan atau Sanggah adalah sebuah tempat utama seperti ibaratnya kepala manusia. Genah madyanya adalah rumah itu sendiri yang ibaratkan badan manusia, nista angganya adalah perkebunan atau pekarangan itu sendiri, dan juga tempat mandi itu juga seperti badan kita sendiri. Tri Angga itulah yang tidak boleh pisah dari stuktur badan manusia, seperti kepala, badan dan juga kaki.
Dasar Tri Mandala itu sendiri adalah Merajan sebagai utamanya, sedangkan keluarga adalah Madyanya, dan nistanya adalah pekarangan itu sendiri. Jika tempat suci mesti mengikuti sebuah aturan dimana arahnya adalah timur ataupun utara. Kajakangin, timur laut. Jika arah timur laut dianggap kurang memadai untuk sebuah bangunan suci, karena alasan seperti tempatnya agak pendek, dihujani cucuran air tetangga, dan juga terdapat sebuah tempat yang kurang enak dalam segi kebersihan, maka tempat tersebut dapat ditinggikan menjadi Merajan.
Dasar Tri Hita Karana juga berbicara dalam merajan ini. Merajan adalah sebuah tempat dimana prahayngan tempat untuk memuja Tuhan dan juga Roh leluhur menjadi satu. Selain dari satu keselarasan antara orang yang tinggal dan lingkungannya, juga diperlukan sebuah tempat untuk melakukan sebuah sinergisme ke atas yang dalam hal ini berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi dapat dikatakan bahwa Merajan adalah sebuah tempat suci yang berada di setiap lingkungan keluarga untuk memuja kebesaran Tuhan dan juga roh leluhur.



Menurut bentuknya Sanggah Pamerajan, ada tiga versi:
1.Yang dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan (Trimurti), maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/ Padmasari.
2.Yang dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta (Tripurusha), maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/ Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala.
3.Kombinasi keduanya, biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di ‘hulu’, namun di sebelahnya ada pelinggih Kemulan.

Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.
Tripurusha, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.
Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi 3 yaitu:
a.Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil).
b.Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ (garis keturunan).
c.Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama).
Pelinggih di Sanggah Pamerajan:
a.Sanggah Pamerajan Alit;
Padmasari
Kemulan Rong Tiga
Taksu
b.Sanggah Pamerajan Dadia;
Padmasana
Kemulan Rong Tiga
Limas Cari
Limas Catu
Manjangan Saluang
Pangrurah
Saptapetala
Taksu
Raja Dewata
c.Sanggah Pamerajan Panti;
Sanggah Pamerajan Dadia ditambah dengan Meru atau Gedong palinggih Bhatara Kawitan.
Palinggih-palinggih lainnya yang tidak teridentifikasi seperti tersebut di atas, disebut ‘pelinggih wewidian’ yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura lain, misalnya dari Pura Pulaki, Penataran Ped, Bukit Sinunggal, dll, maka dibuatkanlah pelinggih khusus berbentuk limas atau sekepat sari.
Pada beberapa Sanggah Pamerajan sering dijumpai pelinggih wewidian ini jumlahnya puluhan, berjejer. Namun disayangkan karena leluhur kita di masa lampau terkadang lupa menuliskan riwayat hidup beliau, sehingga keturunannya sekarang banyak yang tidak tahu, pelinggih apa saja yang ada di Sanggah Pamerajannya.











2.3.Fungsi dan Makna Pelinggih
Pelinggih-pelinggih umum yang terdapat di Sanggah Pamerajan adalah stana dalam niyasa Sanghyang Widhi dan roh leluhur yang dipuja :
1.Kemulan rong tiga


Bentuk bangunan Rong Tiga pada umumnya sama seperti Gedong, yakni empat persegi panjang. Bangunan ini terdiri dari tiga bagian yaitu, dasar pada umumnya terbuat dari batu padas (bahan lain yang keras), diatas dasar masih terdapat 4 atau 8 buah tiang sebagai kaki bangunan (bila 8 tiang, biasanya tiang bagian depan di tengah-tengah adalah tiang semu sebanyak dua buah), badan bangunan agak keatas sama halnya seperti tiang terbuat dari kayu dengan tiga buah ruangan menghadap kedepan (rong tiga atau ruang tiga) sedang bagian atasnya terbuat dari konstruksi kayu dengan atap ijuk, alang-alang atau bahan lainnya, yang bentuknya seperti bangunan rumah.Rong Tiga ini sebagai tempat pemujaan yang terdapat pada setiap rumah tangga (keluarga). Fungsinya untuk memuja roh leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Brahman Visnu dan Siva. Menurut seminar kesatuan tafsir tahun 1984, Fungsi sanggah kemulan adalah untuk Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma (berstana diruang kanan), Wisnu (berstana diruang kiri), Siwa (berstana diruang tengah) atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Ada juga kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Ardanareswari), rong 4 (Catur Dewata), rong 5 (Panca Dewata). (Nurkancana, 1997:139 dan Wikarma, 1998:2).
Menurut Lontar Gong Besi, Usana Dewa dan Tattwa kepatian, yang berstana di kemulan Rong Tiga adalah Sanghyang Tri Atma. Atma yang diidentikkan dengan ayah (purusa) di ruang kanan, Siwatma yang diidentikkan dengan Ibu (pradana) di ruang kiri, dan Paramatma Tuhan yang tunggal di tengah.  





   
2.Padmasari/Padmasana


Padmasana, kata padmasana berasal dari kata padma yang artinya : Teratai merah dan asana artinya tempat duduk, jadi padmasana berarti tempat duduk dari teratai berwarna merah. Yang di maksud adalah sthana suci Tuhan Yang Maha Esa. Pada arca dewa-dewa senantiasa dijumpai ukiran padma pada lapik atau dasar (tempat duduk atau berdirinya)arca. Dalam bentuk bangunan terdiri dari tiga bagian yaitu: dasar, badan dan puncak. Pada puncak biasanya terdapat “Singashana” (berbentuk kursi). Padmasana yang bentuknya sederhana tidak lengkap disebut padmasari bahkan yang lebih sederhana lagi disebut padmacapah. Padmasana yang lengkap pada bagian dasar terdapat ukiran (arca) berwujud bedavangnala (empas/kuara-kura) yang dibelit oleh dua atau seekor naga, yang mengikat antara empas dengan dasar dari bangunan padmasana itu. Pada bagian badan (tengah biasanya terdapat arca dewa-dewa astadikalpa (dewa-deewa penjaga kiblat arah angin yaitu: dewa isvara(timur), Brahma (selatan) mahadewa (barat) Visnu (utara), Mahesvara (tenggara) Rudra( Barat daya) sankara (barat laut) dan Sambhu (Timur Laut) Maasing-masing devata ini membawa senjata sesuai degan atributnya. Pada bagian puncak, sebagai telah disebutkan di atas terdapat singhasana (seperti kursi) yang pada bagian belakangnya terdapat ulon. Pada ulon (bagian belakang tengah Singhasana) biasanya terdapat lukisan “Sang Hyang Acintya” atau disebut juga Sang Hyang Taya. Dilihat dari sikap tari Sang Hyang Acintya tersebut mengingatkan sikap tari dari dewa Siva yang disebut Siva Natyaraja dalam menciptakan alam semesta. Bahan bangunan umumnya terbuat dari batu padas, kadang-kadang dari batu karang laut (putih) ataupun dari batu lahar (gunung agung). Dalam bentuknya yang sederhana terbuat dari pasir semen (beton pc), tidak ada mempergunakan kayu. Adapun fungsi bangunan dan pelinggih Padmasana adalah untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atau manifestasinya. Tidak ada padmasana untuk pemujaan roh suci leluhur (Atmasiddhadevata). Di besakih bangunan padmasana berjejer tiga berdiri pada sebuah dasar sesuai dengan lontar Padmabhuana, yang dilinggasthanakan pada padma itu adalah: Paramasiva (tengah), sadasiva (kanan), dan Sang Hyang Siva (Kiri). Demikianlah bangunan pelinggih padmasana tersebar pada sebagian pura di Bali dan juga hampir semua pura di luar bali memakai padmasana sebagai pelinggih utama. Dapat pula ditambahkan bahwa kadang-kadang pada bagian belakang bangunan padmasana dipahatkanukiran burung Garuda yang mendukng dewa Visnu yang membawa Amrta sedang pada bagian atasnya kadang-kadang di pahatkan pula ukiran angsa yang sedang mengepak-epakkan sayapnya. Ukiran atau relief naga,empas, garuda dan dewa wisnu membawa amrta adalah pelaku utama dalam seritera samudra Mahathana (dalam adiparva) yang melukiskan perebutan atau usaha pencarian amrta (air kehidupan) antara para dewa dan raksasa dengan kemenangan berada di pihak para dewa. Sedang angsa yang sedang mengepakkan sayap adalah lukisan Omkara, Brahman atau Atman.
Pelinggih ini tempat pemujaan Hyang Siwa Raditya (Hyang Widhi Wasa). Hal ini ditandai dengan bagian atasnya dibuat terbuka dan pada tabingnya mahkota dipahatkan luisan gambar Hyang Acintya. Fungsi: Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa-  Sada Siwa – Parama Siwa.
Mantra: Ah Ing Ang Tri Upasadanayabhyao namah swaha,
      Ong sri sri dewa jagatnatha kusumajati sarwa sastra gana tat ya.
 Ong Anattiya manittya maitri wakra mahati bhukti ya namah swaha.            (padmasana)
                       Ong ong surya dewa suksema dewatam, sarwa dewa lokanam sidhhi               bhoktaram namo     namah. (padmasari)

3.Limas Sari



Pelinggih ini merupakan stana Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sedana atau Limas catu yaitu sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia. Fungsi: Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai ardanareswari : pradana – purusha, rwa bhineda.
Mantra: Ong Ang Geng Genijaya ya namah Ong Ang dewa dewi maha siddhi,
Sarwa karya siddha tuwi siddhaya dirghayu namah swaha.

4.Limas Catu



Fungsi: Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai ardanareswari : pradana – purusha, rwa bhineda.
Mantra: Di SangHyang Ardhanareswari.
Om Nama dewa adhisthananya,
Sarwa wyapi wai siwaya,
Padmasana ekapratisthaya,
Ardhanareswaryai namo namah.





5.Menjangan Saka Luang/ Manjangan Saluwang



Manjangan Sakaluang adalah sebuah bangunan suci berbentuk gedong dengan satu ruang terbuka, yang ditengah-tengah bagian depan terdapat satu tiang, di depannya ditempatkan kepala menjangan, kadang-kadang tubuh menjangan dipakai menyangga tiang, lengkap dengan kepalanya, namun ada juga menempatkan patung binatang menjangan utuh dan bangunannya tidak memakai satu tiang pada bagian depannya.
Bangunan suci manjangan sakaluang dibuat untuk menghormati  jasa tokh spiritual yang juga sekaligus sebagai seorang perdana menteri pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa yang sangat popular di Bali pada abad ke-11. Tokoh tersebut adalah mpu rajakrta yang datang kebali dan di beri jabatan Mahasenepati iKuturan, kemudian beliau lebih populer dikenal dengan nama Mpu Kuturan. Mpu rajakrta seperti halnya para rsi agung lainnya di bali dihormati oleh semua lapisan masyarakat, oleh karenanya hampir di semua jenis pura keluarga besar, selalu terdapat bangunan manjangan Sakaluang.
Mantra: Ong Ang Mang Dewi dimuerti bhuawana triyo, pratisthabhyo samudra jagat gurubhyo namah swaha, Ong ah sukla dewi maha laksmi sri giripati sukla pawitrani swaha.


6.Pesaren sari / Kemulan Rong Dua


Bangunan suci yang beruang dua tempat memuja leluhur dalam wujud purusa dan pradana. Fungsi: Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma – Wisnu – Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Ada juga kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Ardanareswari), rong 4 (Catur Dewata), rong 5 (Panca Dewata).


7.Taksu



Taksu berarti daya Magic atau sakti. Sakti adalah symbol dari pada Bala atau kekuatan (Swastika, 2007:19). Fungsi:untuk memohon kekuatan gaib untuk pekerjaan yang digeluti bagi siapa yang memberikan pelinggih tersebut. Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan. Pelinggih taksu kadang-kadang disebut juga “pecelang” yang khusus menerima, mengatur dan menempatkan para dewa yang dianggap sebagai tamu yang turut menyaksikan jalannya upacara pujawali.
Mantra: Ong Ang ah Mahadewi jagatpati ya namo namah swaha.
Ong Ung Prajapatiya Namah,
Ong Mang Mataya Namah,
Ong Tang Prapitaya namah,
Ong Ing Prapitaya Namah,   
Ong Mang Mataya Namah,
Ong Ing Paramataya Namah.

8.Bhatara Sami
           



    


Pelinggih yang berjejer dari kiri ke kanan kesemuanya itu dinamakan Bhatara Sami. Bhatara Sami yang disebut dengan Sanggah Jajaran Kemiri. Dua pelinggih yang didamping pelinggih Surya yang berbentuk Padmasana itu yang disebut dengan bagian dari Sanggah Jajaran Kemiri. Padmasana adalah tempat berstananya Bhatara Surya (Sekte Sora). Untuk sebelahnya taksu dinamakan pelinggih Pura Segara, kemudian disampingnya Pura Gunung Sekar, Pura Bulian, Pura Pucak Tangkid, Pura Pucak Tajun, Pura Yeh Lembu.

9.Balai paruman
   
Balai ini merupakan stana Bhatara dan Bhatari ketika dipersembahkan piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagai bale piasan (pahyasan) karena pralingga-pralingga dihiasi ketika dilinggihkan disini.






10.Pelinggih Hyang Kompyang

Mengenai Palinggih Hyang Kompiang dapat diuraikan sebagai berikut: Palinggih Hyang Kompiang merupakan fenomena baru dalam perkembangan Agama Hindu di Bali yang dimulai sekitar tahun 1970, yaitu beberapa tahun kemudian setelah diadakannya Karya Agung Eka Dasa Rudra (1963) di Pura Besakih.
Ketika itu sebelum Karya, diwajibkan untuk “membersihkan” setra, sehingga pemeluk Hindu ramai-ramai ngaben. Upacara pengabenan dilanjutkan dengan nuntun Dewa Hyang/ Hyang Kompiang ke Pura Dalem Puri di Besakih.
Setelah nuntun lalu Dewa Hyang distanakan di Sanggah Pamerajan pada suatu bentuk bangunan gedong limas; palinggih itu dinamakan Palinggih Hyang Kompiang atau Palinggih Dewa Hyang. Tempatnya berbeda-beda, ada yang di jeroan Sanggah Pamerajan, ada pula yang di jabaan Sanggah Pamerajan. Sumber sastra mengenai Palinggih Dewa Hyang ini tidak ditemukan.
BAB III
PENUTUP

3.1.Simpulan
Adapun kesimpulan dari penulisan makalah ini adalalah Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut dengan sanggah atau merajan yang juga disebut kemulan taksu, sedangkan tempat pemujaan keluarga besar luas disebut dengan Sanggah Gede atau pemerajan agung, Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadya) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadya. Anggota kelompok kerabat tersebut mempuyai ikatan tempat pemujaan yang disebut pura paibon atau pura panti. Perlu diketahui bahwa pada umumnya tiap-tiap Sanggah Pamerajan, Panti, Paibon, Dadia, Kawitan, bahkan Pura Pedarmaan tidak sama baik jumlah/ susunan palinggih, maupun Ida Bethara yang di-stana-kan, karena masing-masing mengikuti sejarah leluhurnya dahulu.
Mengenai asal satu waris dan hubungan ke-cuntaka-an atau saling sumbah pada umumnya sudah sulit ditemukan dalam tingkatan Kawitan, karena demikian panjangnya silsilah leluhur yang melewati batas waktu dalam hitungan abad (ratusan tahun).
3.2. Saran
Adapun saran dari penulisan makalah ini diharapkan bagi para umat Hindu yang ada dibali seyogyanya bisa mengetahui asal usul dari assal mula pemerajan atau sanggah leluhurnya yang dianut sampai sekarang ini guna untuk bisa mempertahankan sistem religius bagi keturunan kelak dimasa yang akan datang. Di samping itu perlu juga di tekankan bagi para generasi penerus agar bisa memberikan pengetahuan yang sedemikian rupa terhadap saudara-saudara yang memang awam tentang masalah merajan serta memberikan penjelasan tentang asal-usul yang sebenarnya. Dan diharapkan pula bagi para pembaca makalah ini jika masih ada kekurangan dalam penelitian merajan ini mohon di tambahkan lagi untuk dapat mendekati kesempurnaan.








DAFTAR PUSTAKA

Prawartaka Karya Agung. Intisari Babad Dalem Tarukan.
Pulasari Mangku Jro. 2009. Dinasti Sri Aji Kresna Kepakisan. Babad Dalem Tarukan. Lan Bisama Ida Bhatara Dalem Tarukan. Paramita : Surabaya.
Gunawan Pasek. 2012. Bahan Ajar Sivasiddhanta II.
Adnyana Mider I Nyoman.2012. Arti Dan Fungsi  Banten sebagai Sarana Persembahyangan. PT Offest BP : Denpasar.
Anom Bagus Ida.2009. Tentang Pembangunan Merajan. CV KAYUMAS AGUNG : Denpasar.
Pulasari Mangku Jro. 2012. Cakepan Alit Puja Weda Mantra. Paramita : Surabaya.http://luhayulestarigen.blogspot.com/2014/01/babad-ida-dalem-tarukan-pulasari-siva.html

25/06/14

SEKILAS TENTANG NAMA BUSUNGMEGELUNG SAMPAI MENJADI BUSUNGBIU

         Sahabat yang baik sebelumnya saya mohon maaf bila penyampaian ini kurang valid atau tidak akurat sebab sejarah ini sempat saya baca tahun 1987 dan lembaran literaturnya sudah menjadi sampah saat itu,  saya pungut di tempat sampah kantor camat Busungbiu dan saya tempel di dinding kamar rumah disaat saya masih kecil...
        Sepintas  saya ingat di sana  dituliskan bahwa saat perjalanan  keluarga raja  dari zaman kerajaan Bedahulu menuju jawa, yang diiringi oleh para patih dan punggawanya , beliau sempat mencari daerah sebagai tempat peristirahatan, dan beliau menyuruh salah satu dari pengikutnya untuk memanjat pohon kelapa dan memantau dari ketinggian pohon kelapa dilereng perbukitan sebelah timur tukad Yeh Panes, dari sana terlihatlah gelung emas yang bercahaya kemilau di sebelah barat, yang kini tempat itu bernama Maksan, atas dasar itu beliau mencari tempat gelung itu, dan di sana beliau membuat istana kecil sebagai persimpangan. Lama kelamaan beliau betah di tempat ini. sehingga untuk mengenang perjalanan beliau diberilah tempat ini sebuah nama  Busungmegelung karena ditemukan sebuah gelung emas dari pucuk pohon kelapa.
         Lama sudah beliau menetap di sana. sampai Ki Ularan memiliki seorang putra laki laki. Putra beliau suka mencari udang ke sungai. Mungkin karena kehendak Hyang Widhi, kesedihan menimpa keluarga Ki Ularan. Satu satunya anak kesayangan Beliau meninggal karena terhimpit batu besar saat berusaha mengambil udang kesukaannya. Putra ki Ularan dimakamkan disebelah utara dari tempat Beliau Berstana kini tempat itu dinamakan Pendem. Saat memakamkan putra Ki Ularan, semua di bungkus  dan dipayungi dengan daun pisang, dan diiringi oleh 66 orang seraya menyebutkan Busungbiu, sejak saat itu nama Busungmegelung berubah menjadi Busungbiu. Ki Ularan tak kunjung reda kesedihannya dan akhirnya memutuskan pergi ke arah barat laut menelusuri sungai Saba. Kepergiannya hanya diikuti oleh kerabatnya saja sedangkan pengikut yang lagi 66 orang masih menetap dan sampai sekarang yang ke 66 orang tersebut masih dihormati sebagai pemucuk pendiri desa Busungbiu. Ki Ularan akhirnya menetap dan meninggal di utara desa Telaga, yang kini disebut desa Ularan.
      demikian sejarah singkat desa Busungbiu semoga bermanfaat dan apabila teman teman menemukan data yang lebih akurat dari apa yang saya paparkan disini, besar harapan saya untuk bisa berbagi....

Dapodik

Buat teman teman operator yang masih sibuk mencari aplikasi dapodik mari berbagi disini https://www.dropbox.com/s/whnfygtd9uyewxd/Dapodikdas208_2.exe

25/11/12


Canon Indonesia - Personal
Canon Indonesia - Personal

Beware of double standards

Learn more about ISO printing speed Canon Indonesia  - Personal
  • 1
  • 2

The helpful photo expert

The helpful photo expert
PIXMA printers come with software that make printing easier than ever: Easy-PhotoPrint EX lets you create fun and creative photobooks or calendars in just five quick steps. And Easy-WebPrint Ex helps you to print exactly what you want from the Web.

It’s a FINE™ technology

It’s a FINE™ technology
You'll marvel at the lab-quality prints created with Canon's FINE™ technology, which expresses ink droplets as small as 1 pl and at brilliant 9600 dpi resolution for outstanding printouts. With outstanding detail and smooth gradation with almost no graininess, it's a perfect print every time.

Affordable quality

Affordable quality Canon's PIXMA range of inkjet printers offers affordable quality you can enjoy. From photos to presentations and more, the PIXMA's high print speeds and grain-free images create great-looking printouts, photos and documents in colour as well as greyscale, while remaining extremely cost-efficient for home or office use.

Printing possibilities

Printing possibilities PIXMA printers allow you to print on more than just photos. With the bundled CD-Label print software, you can design your own CD or DVD label and have your own personalised disc within minutes.

Chromalife100+: prints that last

Chromalife100+: prints that last Canon's dye-based inks, FINE™ technology print heads and photo papers have been developed together to produce brilliant, fade-resistant prints that can last up to 300 years.

Canon original ink

Canon original ink
Canon's sophisticated print heads require the best inks to deliver the highest quality prints. That is why Canon invested much research into developing our dye inks, offering a greater vibrancy and ability to print on any paper from glossy to matte surfaces. Using original Canon inks ensures that you get the most vibrant colours and the sharpest text while keeping your Canon printer in tip-top condition. More about Canon original inks Canon original ink Canon original ink

Other resources

11/11/12

Ramalan Jayabaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Ramalan Jayabaya atau sering disebut Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga .Asal Usul utama serat jangka Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yg digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keaslianya tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yg menuliskan bahwasanya Jayabayalah yg membuat ramalan-ramalan tersebut.
"Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani."
Meskipun demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut dalam kitab-kitab mereka: Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya, bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha. Sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.[1]

Daftar isi

Asal-usul

Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).
Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah "Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong.
Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.
Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).
Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.

Analisis

Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu.
Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton". Giri Kedaton ini nampaknya Merupakan zaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai zaman Sunan Giri ke-3.
Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai "Ratu Bobodo") ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.
Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti dizaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung).
Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan "JANGKA JAYABAYA" dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad.
Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.
Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan sebagai zaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama "REPUBLIK INDONESIA"!. Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.
Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.

Kitab Musasar Jayabaya

Asmarandana
  1. Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
  2. Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
  3. Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negara-nya.
  4. Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum bernama, Sultan Maolana.
  5. Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa pantas dihormati.
  6. Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu menge.nai Kitab Musarar.
  7. Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak Dewata.
  8. Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali.
  9. Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah,
  10. Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
  11. Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya.
  12. Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung.
  13. Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Jayabaya seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara Wisnu..
  14. Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
  15. Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
  16. Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengarn endangnya.
  17. Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus.
  18. Kedelapan endang seorang. Kemudian ki Ajar menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu waspada kemudian menarik senjata kerisnya.
  19. Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya.
  20. Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya.
  21. Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda.

Sinom
  1. Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi.
  2. Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada zaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berobah lagi. Diberi lambang zaman Catur semune segara asat.
  3. Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi. Menghancurkan keburukan.
  4. Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut. Kemudian ada zaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia.
  5. Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada zaman Anderpati yang bernama Kala-wisesa.
  6. Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah.
  7. Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian berganti zaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
  8. Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar.
  9. Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti zaman lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati Kalawisaya.
  10. Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
  11. Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti zaman Kalajangga. Beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun kemudian musnah.
  12. Negara ini diberi lambang: cangkrama putung watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti zaman di Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma.
  13. Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
  14. Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar. Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat.
  15. Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
  16. Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di pulau Jawa. zaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang.
  17. Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti.
  18. Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi(Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita) kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti, namun nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan.
  19. Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak.
  20. Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti zaman Kutila. Rajanya Kara Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan).
  21. Nakhoda(Orang asing)ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu , randa loro nututi pijer tetukar(( Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
  22. Tidak berkesempatan menghias diri(Raja yang tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan ), sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.
  23. Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.
  24. Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang tua.
  25. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda negara pecah.
  26. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.
  27. Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
  28. Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
  29. Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.

Isi Ramalan

  1. Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran --- Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
  2. Tanah Jawa kalungan wesi --- Pulau Jawa berkalung besi.
  3. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang --- Perahu berjalan di angkasa.
  4. Kali ilang kedhunge --- Sungai kehilangan mata air.
  5. Pasar ilang kumandhang --- Pasar kehilangan suara.
  6. Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak --- Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
  7. Bumi saya suwe saya mengkeret --- Bumi semakin lama semakin mengerut.
  8. Sekilan bumi dipajeki --- Sejengkal tanah dikenai pajak.
  9. Jaran doyan mangan sambel --- Kuda suka makan sambal.
  10. Wong wadon nganggo pakeyan lanang --- Orang perempuan berpakaian lelaki.
  11. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman--- Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
  12. Akeh janji ora ditetepi --- Banyak janji tidak ditepati.
  13. keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe--- Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
  14. Manungsa padha seneng nyalah--- Orang-orang saling lempar kesalahan.
  15. Ora ngendahake hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
  16. Barang jahat diangkat-angkat--- Yang jahat dijunjung-junjung.
  17. Barang suci dibenci--- Yang suci (justru) dibenci.
  18. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit--- Banyak orang hanya mementingkan uang.
  19. Lali kamanungsan--- Lupa jati kemanusiaan.
  20. Lali kabecikan--- Lupa hikmah kebaikan.
  21. Lali sanak lali kadang--- Lupa sanak lupa saudara.
  22. Akeh bapa lali anak--- Banyak ayah lupa anak.
  23. Akeh anak wani nglawan ibu--- Banyak anak berani melawan ibu.
  24. Nantang bapa--- Menantang ayah.
  25. Sedulur padha cidra--- Saudara dan saudara saling khianat.
  26. Kulawarga padha curiga--- Keluarga saling curiga.
  27. Kanca dadi mungsuh --- Kawan menjadi lawan.
  28. Akeh manungsa lali asale --- Banyak orang lupa asal-usul.
  29. Ukuman Ratu ora adil --- Hukuman Raja tidak adil
  30. Akeh pangkat sing jahat lan ganjil--- Banyak pejabat jahat dan ganjil
  31. Akeh kelakuan sing ganjil --- Banyak ulah-tabiat ganjil
  32. Wong apik-apik padha kapencil --- Orang yang baik justru tersisih.
  33. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin --- Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
  34. Luwih utama ngapusi --- Lebih mengutamakan menipu.
  35. Wegah nyambut gawe --- Malas untuk bekerja.
  36. Kepingin urip mewah --- Inginnya hidup mewah.
  37. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka --- Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
  38. Wong bener thenger-thenger --- Orang (yang) benar termangu-mangu.
  39. Wong salah bungah --- Orang (yang) salah gembira ria.
  40. Wong apik ditampik-tampik--- Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
  41. Wong jahat munggah pangkat--- Orang (yang) jahat naik pangkat.
  42. Wong agung kasinggung--- Orang (yang) mulia dilecehkan
  43. Wong ala kapuja--- Orang (yang) jahat dipuji-puji.
  44. Wong wadon ilang kawirangane--- perempuan hilang malu.
  45. Wong lanang ilang kaprawirane--- Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
  46. Akeh wong lanang ora duwe bojo--- Banyak laki-laki tak mau beristri.
  47. Akeh wong wadon ora setya marang bojone--- Banyak perempuan ingkar pada suami.
  48. Akeh ibu padha ngedol anake--- Banyak ibu menjual anak.
  49. Akeh wong wadon ngedol awake--- Banyak perempuan menjual diri.
  50. Akeh wong ijol bebojo--- Banyak orang gonta-ganti pasangan.
  51. Wong wadon nunggang jaran--- Perempuan menunggang kuda.
  52. Wong lanang linggih plangki--- Laki-laki naik tandu.
  53. Randha seuang loro--- Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
  54. Prawan seaga lima--- Lima perawan lima picis.
  55. Dhudha pincang laku sembilan uang--- Duda pincang laku sembilan uang.
  56. Akeh wong ngedol ngelmu--- Banyak orang berdagang ilmu.
  57. Akeh wong ngaku-aku--- Banyak orang mengaku diri.
  58. Njabane putih njerone dhadhu--- Di luar putih di dalam jingga.
  59. Ngakune suci, nanging sucine palsu--- Mengaku suci, tapi palsu belaka.
  60. Akeh bujuk akeh lojo--- Banyak tipu banyak muslihat.
  61. Akeh udan salah mangsa--- Banyak hujan salah musim.
  62. Akeh prawan tuwa--- Banyak perawan tua.
  63. Akeh randha nglairake anak--- Banyak janda melahirkan bayi.
  64. Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne--- Banyak anak lahir mencari bapaknya.
  65. Agama akeh sing nantang--- Agama banyak ditentang.
  66. Prikamanungsan saya ilang--- Perikemanusiaan semakin hilang.
  67. Omah suci dibenci--- Rumah suci dijauhi.
  68. Omah ala saya dipuja--- Rumah maksiat makin dipuja.
  69. Wong wadon lacur ing ngendi-endi--- Perempuan lacur dimana-mana.
  70. Akeh laknat--- Banyak kutukan
  71. Akeh pengkianat--- Banyak pengkhianat.
  72. Anak mangan bapak---Anak makan bapak.
  73. Sedulur mangan sedulur---Saudara makan saudara.
  74. Kanca dadi mungsuh---Kawan menjadi lawan.
  75. Guru disatru---Guru dimusuhi.
  76. Tangga padha curiga---Tetangga saling curiga.
  77. Kana-kene saya angkara murka --- Angkara murka semakin menjadi-jadi.
  78. Sing weruh kebubuhan---Barangsiapa tahu terkena beban.
  79. Sing ora weruh ketutuh---Sedang yang tak tahu disalahkan.
  80. Besuk yen ana peperangan---Kelak jika terjadi perang.
  81. Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor---Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
  82. Akeh wong becik saya sengsara--- Banyak orang baik makin sengsara.
  83. Wong jahat saya seneng--- Sedang yang jahat makin bahagia.
  84. Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul--- Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
  85. Wong salah dianggep bener---Orang salah dipandang benar.
  86. Pengkhianat nikmat---Pengkhianat nikmat.
  87. Durjana saya sempurna--- Durjana semakin sempurna.
  88. Wong jahat munggah pangkat--- Orang jahat naik pangkat.
  89. Wong lugu kebelenggu--- Orang yang lugu dibelenggu.
  90. Wong mulya dikunjara--- Orang yang mulia dipenjara.
  91. Sing curang garang--- Yang curang berkuasa.
  92. Sing jujur kojur--- Yang jujur sengsara.
  93. Pedagang akeh sing keplarang--- Pedagang banyak yang tenggelam.
  94. Wong main akeh sing ndadi---Penjudi banyak merajalela.
  95. Akeh barang haram---Banyak barang haram.
  96. Akeh anak haram---Banyak anak haram.
  97. Wong wadon nglamar wong lanang---Perempuan melamar laki-laki.
  98. Wong lanang ngasorake drajate dhewe---Laki-laki memperhina derajat sendiri.
  99. Akeh barang-barang mlebu luang---Banyak barang terbuang-buang.
  100. Akeh wong kaliren lan wuda---Banyak orang lapar dan telanjang.
  101. Wong tuku ngglenik sing dodol---Pembeli membujuk penjual.
  102. Sing dodol akal okol---Si penjual bermain siasat.
  103. Wong golek pangan kaya gabah diinteri---Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
  104. Sing kebat kliwat---Yang tangkas lepas.
  105. Sing telah sambat---Yang terlanjur menggerutu.
  106. Sing gedhe kesasar---Yang besar tersasar.
  107. Sing cilik kepleset---Yang kecil terpeleset.
  108. Sing anggak ketunggak---Yang congkak terbentur.
  109. Sing wedi mati---Yang takut mati.
  110. Sing nekat mbrekat---Yang nekat mendapat berkat.
  111. Sing jerih ketindhih---Yang hati kecil tertindih
  112. Sing ngawur makmur---Yang ngawur makmur
  113. Sing ngati-ati ngrintih---Yang berhati-hati merintih.
  114. Sing ngedan keduman---Yang main gila menerima bagian.
  115. Sing waras nggagas---Yang sehat pikiran berpikir.
  116. Wong tani ditaleni---Orang (yang) bertani diikat.
  117. Wong dora ura-ura---Orang (yang) bohong berdendang.
  118. Ratu ora netepi janji, musna panguwasane---Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
  119. Bupati dadi rakyat---Pegawai tinggi menjadi rakyat.
  120. Wong cilik dadi priyayi---Rakyat kecil jadi priyayi.
  121. Sing mendele dadi gedhe---Yang curang jadi besar.
  122. Sing jujur kojur---Yang jujur celaka.
  123. Akeh omah ing ndhuwur jaran---Banyak rumah di punggung kuda.
  124. Wong mangan wong---Orang makan sesamanya.
  125. Anak lali bapak---Anak lupa bapa.
  126. Wong tuwa lali tuwane---Orang tua lupa ketuaan mereka.
  127. Pedagang adol barang saya laris---Jualan pedagang semakin laris.
  128. Bandhane saya ludhes---Namun harta mereka makin habis.
  129. Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan---Banyak orang mati lapar di samping makanan.
  130. Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara---Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
  131. Sing edan bisa dandan---Yang gila bisa bersolek.
  132. Sing bengkong bisa nggalang gedhong---Si bengkok membangun mahligai.
  133. Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil---Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
  134. Ana peperangan ing njero---Terjadi perang di dalam.
  135. Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham---Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
  136. Durjana saya ngambra-ambra---Kejahatan makin merajalela.
  137. Penjahat saya tambah---Penjahat makin banyak.
  138. Wong apik saya sengsara---Yang baik makin sengsara.
  139. Akeh wong mati jalaran saka peperangan---Banyak orang mati karena perang.
  140. Kebingungan lan kobongan---Karena bingung dan kebakaran.
  141. Wong bener saya thenger-thenger---Si benar makin tertegun.
  142. Wong salah saya bungah-bungah---Si salah makin sorak sorai.
  143. Akeh bandha musna ora karuan lungane---Banyak harta hilang entah ke mana
  144. Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe---Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
  145. Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram---Banyak barang haram, banyak anak haram.
  146. Bejane sing lali, bejane sing eling---Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
  147. Nanging sauntung-untunge sing lali---Tapi betapapun beruntung si lupa.
  148. Isih untung sing waspada---Masih lebih beruntung si waspada.
  149. Angkara murka saya ndadi---Angkara murka semakin menjadi.
  150. Kana-kene saya bingung---Di sana-sini makin bingung.
  151. Pedagang akeh alangane---Pedagang banyak rintangan.
  152. Akeh buruh nantang juragan---Banyak buruh melawan majikan.
  153. Juragan dadi umpan---Majikan menjadi umpan.
  154. Sing suwarane seru oleh pengaruh---Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
  155. Wong pinter diingar-ingar---Si pandai direcoki.
  156. Wong ala diuja---Si jahat dimanjakan.
  157. Wong ngerti mangan ati---Orang yang mengerti makan hati.
  158. Bandha dadi memala---Hartabenda menjadi penyakit
  159. Pangkat dadi pemikat---Pangkat menjadi pemukau.
  160. Sing sawenang-wenang rumangsa menang --- Yang sewenang-wenang merasa menang
  161. Sing ngalah rumangsa kabeh salah---Yang mengalah merasa serba salah.
  162. Ana Bupati saka wong sing asor imane---Ada raja berasal orang beriman rendah.
  163. Patihe kepala judhi---Maha menterinya benggol judi.
  164. Wong sing atine suci dibenci---Yang berhati suci dibenci.
  165. Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat---Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
  166. Pemerasan saya ndadra---Pemerasan merajalela.
  167. Maling lungguh wetenge mblenduk --- Pencuri duduk berperut gendut.
  168. Pitik angrem saduwure pikulan---Ayam mengeram di atas pikulan.
  169. Maling wani nantang sing duwe omah---Pencuri menantang si empunya rumah.
  170. Begal pada ndhugal---Penyamun semakin kurang ajar.
  171. Rampok padha keplok-keplok---Perampok semua bersorak-sorai.
  172. Wong momong mitenah sing diemong---Si pengasuh memfitnah yang diasuh
  173. Wong jaga nyolong sing dijaga---Si penjaga mencuri yang dijaga.
  174. Wong njamin njaluk dijamin---Si penjamin minta dijamin.
  175. Akeh wong mendem donga---Banyak orang mabuk doa.
  176. Kana-kene rebutan unggul---Di mana-mana berebut menang.
  177. Angkara murka ngombro-ombro---Angkara murka menjadi-jadi.
  178. Agama ditantang---Agama ditantang.
  179. Akeh wong angkara murka---Banyak orang angkara murka.
  180. Nggedhekake duraka---Membesar-besarkan durhaka.
  181. Ukum agama dilanggar---Hukum agama dilanggar.
  182. Prikamanungsan di-iles-iles---Perikemanusiaan diinjak-injak.
  183. Kasusilan ditinggal---Tata susila diabaikan.
  184. Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi---Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
  185. Wong cilik akeh sing kepencil---Rakyat kecil banyak tersingkir.
  186. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil---Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
  187. Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit---Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
  188. Lan duwe prajurit---Dan punya prajurit.
  189. Negarane ambane saprawolon---Lebar negeri seperdelapan dunia.
  190. Tukang mangan suap saya ndadra---Pemakan suap semakin merajalela.
  191. Wong jahat ditampa---Orang jahat diterima.
  192. Wong suci dibenci---Orang suci dibenci.
  193. Timah dianggep perak---Timah dianggap perak.
  194. Emas diarani tembaga---Emas dibilang tembaga
  195. Dandang dikandakake kuntul---Gagak disebut bangau.
  196. Wong dosa sentosa---Orang berdosa sentosa.
  197. Wong cilik disalahake---Rakyat jelata dipersalahkan.
  198. Wong nganggur kesungkur---Si penganggur tersungkur.
  199. Wong sregep krungkep---Si tekun terjerembab.
  200. Wong nyengit kesengit---Orang busuk hati dibenci.
  201. Buruh mangluh---Buruh menangis.
  202. Wong sugih krasa wedi---Orang kaya ketakutan.
  203. Wong wedi dadi priyayi---Orang takut jadi priyayi.
  204. Senenge wong jahat---Berbahagialah si jahat.
  205. Susahe wong cilik---Bersusahlah rakyat kecil.
  206. Akeh wong dakwa dinakwa---Banyak orang saling tuduh.
  207. Tindake manungsa saya kuciwa---Ulah manusia semakin tercela.
  208. Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi---Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
  209. Wong Jawa kari separo---Orang Jawa tinggal setengah.
  210. Landa-Cina kari sejodho --- Belanda-Cina tinggal sepasang.
  211. Akeh wong ijir, akeh wong cethil---Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
  212. Sing eman ora keduman---Si hemat tidak mendapat bagian.
  213. Sing keduman ora eman---Yang mendapat bagian tidak berhemat.
  214. Akeh wong mbambung---Banyak orang berulah dungu.
  215. Akeh wong limbung---Banyak orang limbung.
  216. Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka---Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.

Bait Terakhir Ramalan Jayabaya
140. polahe wong Jawa kaya gabah diinteri\ endi sing bener endi sing sejati\ para tapa padha ora wani\ padha wedi ngajarake piwulang adi\ salah-salah anemani pati\
141. banjir bandang ana ngendi-endi\ gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni\ gehtinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni\ marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti\
142. pancen wolak-waliking jaman\ amenangi jaman edan\ ora edan ora kumanan\ sing waras padha nggagas\ wong tani padha ditaleni\ wong dora padha ura-ura\ beja-bejane sing lali,\ isih beja kang eling lan waspadha\
143. ratu ora netepi janji\ musna kuwasa lan prabawane\ akeh omah ndhuwur kuda\ wong padha mangan wong\ kayu gligan lan wesi hiya padha doyan\ dirasa enak kaya roti bolu\ yen wengi padha ora bisa turu\
144. sing edan padha bisa dandan\ sing ambangkang padha bisa\ nggalang omah gedong magrong-magrong\
145. wong dagang barang sangsaya laris, bandhane ludes\ akeh wong mati kaliren gisining panganan\ akeh wong nyekel bendha ning uriping sengsara\
146. wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil\ sing ora abisa maling digethingi\ sing pinter duraka dadi kanca\ wong bener sangsaya thenger-thenger\ wong salah sangsaya bungah\ akeh bandha musna tan karuan larine\ akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe\
147. bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret\ sakilan bumi dipajeki\ wong wadon nganggo panganggo lanang\ iku pertandhane yen bakal nemoni\ wolak-walike zaman\
148. akeh wong janji ora ditepati\ akeh wong nglanggar sumpahe dhewe\ manungsa padha seneng ngalap,\ tan anindakake hukuming Allah\ barang jahat diangkat-angkat\ barang suci dibenci\
149. akeh wong ngutamakake royal\ lali kamanungsane, lali kebecikane\ lali sanak lali kadang\ akeh bapa lali anak\ akeh anak mundhung biyung\ sedulur padha cidra\ keluarga padha curiga\ kanca dadi mungsuh\ manungsa lali asale\
150. ukuman ratu ora adil\ akeh pangkat jahat jahil\ kelakuan padha ganjil\ sing apik padha kepencil\ akarya apik manungsa isin\ luwih utama ngapusi\
151. wanita nglamar pria\ isih bayi padha mbayi\ sing pria padha ngasorake drajate dhewe\

Bait 152 sampai dengan 156 hilang
157. wong golek pangan pindha gabah den interi\ sing kebat kliwat, sing kasep kepleset\ sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik\ sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati\ nanging sing ngawur padha makmur\ sing ngati-ati padha sambat kepati-pati\
158. cina alang-alang keplantrang dibandhem nggendring\ melu Jawa sing padha eling\ sing tan eling miling-miling\ mlayu-mlayu kaya maling kena tuding\ eling mulih padha manjing\ akeh wong injir, akeh centhil\ sing eman ora keduman\ sing keduman ora eman\
159. selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun\ sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu\ bakal ana dewa ngejawantah\ apengawak manungsa\ apasurya padha bethara Kresna\ awatak Baladewa\ agegaman trisula wedha\ jinejer wolak-waliking zaman\ wong nyilih mbalekake,\ wong utang mbayar\ utang nyawa bayar nyawa\ utang wirang nyaur wirang\
160. sadurunge ana tetenger lintang kemukus lawa\ ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener\ lawase pitung bengi,\ parak esuk bener ilange\ bethara surya njumedhul\ bebarengan sing wis mungkur prihatine manungsa kelantur-lantur\ iku tandane putra Bethara Indra wus katon\ tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa\
161. dunungane ana sikil redi Lawu sisih wetan\ wetane bengawan banyu\ andhedukuh pindha Raden Gatotkaca\ arupa pagupon dara tundha tiga\ kaya manungsa angleledha\
162. akeh wong dicakot lemut mati\ akeh wong dicakot semut sirna\ akeh swara aneh tanpa rupa\ bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis\ tan kasat mata, tan arupa\ sing madhegani putrane Bethara Indra\ agegaman trisula wedha\ momongane padha dadi nayaka perang\ perange tanpa bala\ sakti mandraguna tanpa aji-aji
163. apeparap pangeraning prang\ tan pokro anggoning nyandhang\ ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang\ sing padha nyembah reca ndhaplang,\ cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang\
164. putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu\ hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti\ mumpuni sakabehing laku\ nugel tanah Jawa kaping pindho\ ngerahake jin setan\ kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo\ kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda\ landhepe triniji suci\ bener, jejeg, jujur\ kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong\
165. pendhak Sura nguntapa kumara\ kang wus katon nembus dosane\ kadhepake ngarsaning sang kuasa\ isih timur kaceluk wong tuwa\ paringane Gatotkaca sayuta\
166. idune idu geni\ sabdane malati\ sing mbregendhul mesti mati\ ora tuwo, enom padha dene bayi\ wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada\ garis sabda ora gentalan dina,\ beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira\ tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa\ nanging inung pilih-pilih sapa\
167. waskita pindha dewa\ bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira\ pindha lahir bareng sadina\ ora bisa diapusi marga bisa maca ati\ wasis, wegig, waskita,\ ngerti sakdurunge winarah\ bisa pirsa mbah-mbahira\ angawuningani jantraning zaman Jawa\ ngerti garise siji-sijining umat\ Tan kewran sasuruping zaman\
168. mula den upadinen sinatriya iku\ wus tan abapa, tan bibi, lola\ awus aputus weda Jawa\ mung angandelake trisula\ landheping trisula pucuk\ gegawe pati utawa utang nyawa\ sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan\ sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda\
169. sirik den wenehi\ ati malati bisa kesiku\ senenge anggodha anjejaluk cara nistha\ ngertiyo yen iku coba\ aja kaino\ ana beja-bejane sing den pundhuti\ ateges jantrane kaemong sira sebrayat\
170. ing ngarsa Begawan\ dudu pandhita sinebut pandhita\ dudu dewa sinebut dewa\ kaya dene manungsa\ dudu seje daya kajawaake kanti jlentreh\ gawang-gawang terang ndrandhang\
171. aja gumun, aja ngungun\ hiya iku putrane Bethara Indra\ kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan\ tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh\ hiya siji iki kang bisa paring pituduh\ marang jarwane jangka kalaningsun\ tan kena den apusi\ marga bisa manjing jroning ati\ ana manungso kaiden ketemu\ uga ana jalma sing durung mangsane\ aja sirik aja gela\ iku dudu wektunira\ nganggo simbol ratu tanpa makutha\ mula sing menangi enggala den leluri\ aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu\ beja-bejane anak putu\
172. iki dalan kanggo sing eling lan waspada\ ing zaman kalabendu Jawa\ aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa\ cures ludhes saka braja jelma kumara\ aja-aja kleru pandhita samusana\ larinen pandhita asenjata trisula wedha\ iku hiya pinaringaning dewa\
173. nglurug tanpa bala\ yen menang tan ngasorake liyan\ para kawula padha suka-suka\ marga adiling pangeran wus teka\ ratune nyembah kawula\ angagem trisula wedha\ para pandhita hiya padha muja\ hiya iku momongane kaki Sabdopalon\ sing wis adu wirang nanging kondhang\ genaha kacetha kanthi njingglang\ nora ana wong ngresula kurang\ hiya iku tandane kalabendu wis minger\ centi wektu jejering kalamukti\ andayani indering jagad raya\ padha asung bhekti\

Kepustakaan