02/10/14

babad ida dalem tarukan pulasari siva sidhanta

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Agama Hindu merupakan agama tertua diantara sekian banyak agama yang ada dianut oleh manusia. Sejarah perkembangan agama Hindu sangatlah penting diketahui untuk memahami jejak awal hingga kini mengenai keberadaan agama Hindu yang dianut oleh umat manusia di dunia.
Suatu ciri utama kehidupan dalam ber-Agama Hindu adalah percaya dan bakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan-Nya tidak terbatas sedangkan kemampuan manusia sangat terbatas.
Manusia dalam ketidaksempurnaannya selalu ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa agar memperoleh perlindungan dan petunjuk dalam menempuh kehidupan. Mereka yang memahami pengertian ini menjadi manusia yang mulia karena senantiasa mengutamakan ke-Tuhanan dalam tatanan kehidupannya.
Dalam Bhagwadgita dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia berdasarkan yadnya dan sebagai sumber kehidupan manusia Tuhan menciptakan alam. Oleh karena itu selalu diupayakan menjaga keharmonisan antara: Tuhan – Manusia – Alam melalui yadnya.
Manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan jalan yadnya memerlukan sarana antara lain Pura dan Sanggah Pamrajan.



1.2.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penyusunan makalah ini, yaitu:
1.2.1. Bagaimana sejarah Dadia Sentana Dalem Tarukan ?
1.2.2. Apa pengertian Merajan dan bagaimana pemahamannya ?
1.2.3. Bagaimana fungsi dan makna pelinggih di masing masing merajan ?

1.3.Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, yaitu:
1.3.1. Untuk mengetahui sejarah Dadia Sentana Dalem Tarukan.
1.3.2. Untuk mengetahui arti dari sebuah Merajan.
1.3.3. Untuk mengetahui fungsi dan makna pelinggih dalam merajan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Dadia Sentana Dalem Tarukan
INTI SARI BABAD DALEM TARUKAN
Berdirinya pura kawitan Para Gotra Sentana Dalem Tarukan yaitu pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan di Dusun Pulasari Desa Peninjauan Tembuku Bangli tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan sejarah perjalanan Ida Bhatara Dalem Tarukan.
A.Sejarah / Babad
Ida Dalem Tarukan bersaudara 5 orang yaitu:
1.Dalem Agra samprangan
2.Dalem Tarukan
3.Dewa Ayu Swabawa
4.Dalem Ketut Ngulesir
5.I Dewa Tegal Besung
Ayah beliau bernama Sri Aji Dalem Kresna Kepakisan, menjadi raja di Bali tahun 1272 berkedudukan di Puri samprangan Gianyar dan membawa senjata utama yang bernama keris Ki Tanda Langlang.
Setelah Ida Dalem Tarukan dewasa, Ida membangun Puri di Tarukan Pejeng Gianyar, Ida disana bersama istri dari Lempuyang Madya (Bukit Gamongan). Ditemani oleh putra angkat beliau yang Rakriyan Kuda Pinandang Kajar putra Dalem Blambangan, ditemani pula oleh masyarakat dan mahapatih yang setia kepada Ida Dalem Tarukan.
Diceritakan pada saat Kuda Pinandang kajar sakit keras sulit disembuhkan Ida Dalem Tarukan terlanjur ngomong bahwa apabila Kuda Pinandang Kajar bisa sembuh seperti semula akan dijodohkan dengan Dewa Ayu Muter (putri Dalem samprangan). Setelah Ida Dalem Tarukan ngomong demikian ternyata Rakriyan Kuda Pinandang Kajar sembuh. Akhirnya Ida Dalem Tarukan mewujudkan kata-katanya menikahkan Dewa Ayu Muter dengan Rakriyan Kuda Pinandang Kajar tanpa sepengetahuan Dalem Samprangan.
Entah apa yang mempengaruhi kejadian itu membuat Ida Dalem Samprangan marah lalu memerintahkan mengirim pasukan, sebanyak lebih dari tiga ribu orang menyerang ke Puri Pejeng. Mengetahui berita itu untuk menghindari terjadi perang maka Ida Dalem Tarukan mundur meninggalkan puri dan istri yang sedang hamil 6 bulan pergi mengungsi ke desa-desa di pegunungan. 
Tempat-tempat pengungsian tersebut sampai sekarang bisa ditelusuri, pada awalnya beliau sampai di desa Taro Gianyar, selanjutnya ke Subak Pulesari sebelah selatan Tampuwagan, Tembuku Bangli. Para pengejar datang beliau bersembunyi menyelinap dalam kumpulan petani yang sedang menanam padi, sedangkan para pengejar terus mengejar kearah utara sampai ke Tampuwagan. Sampai sore tanpa hasil para pengejar akhirnya kembali pulang. Demi keselamatan disinalah beliau pertama kali nyineb wangsa menjelaskan keberadaannya dengan berkata kepada para petani sebagai berikut : “…de cai macokor I dewa teken aku, magusti, majero, dadi apan aku macita urip…” demikianlah beliau berkata. Setelah itu Ida Dalem Tarukan diantar oleh para petani menuju padukuhan (selatan Dusun Pulasari sekarang) beliau diterima oleh Ki Dukuh Pantunan. Beliau tinggal disini cukup lama. Keberadaan beliau tercium oleh pihak puri maka pengejar datang lagi menyisir setiap tempat di pedukuhan Pantunan. Hampir saja beliau tertangkap, beliau bersembunyi menyelinap dibawah rerimbunan kumpulan pohon pisang, jawa jail, dan ada beberapa ekor burung puyuh lalu lalang bercanda, burung perkutut bersuara bersahutan yang melukiskan suasana tak mungkin ada orang diam disana sehingga beliau terselamatkan dari pengejaran. Dalam situasi seperti ini akhirnya Ida Dalem Tarukan berjanji:  
“…nah iba kedis titiran, kedis puwuh muah jawa jali deni jati iba makrana kai idup nah jani seenyah-enyah aku apang sing dadi amangsa iba…”. (ya engkau burung perkutut, burung puyuh dan pohon jawa jali kalau memang karena engkau membuat aku tetap hidup, ya sekarang seketurunanku tidak boleh memangsa engkau).
Merasa tidak aman di Pantunan akhirnya Ki Dukuh Pantunan menyarankan Ida Dalem Tarukan pindah ke Desa Poh Tegeh (wilayah Songan) diterima oleh Ki Gusti Poh Tegeh (Poh Landung). Oleh Ki Gusti Poh Tegeh, Ida Dalem Tarukan ditempatkan di Jenggala Sekar Desa Tegal Bunga diterima oleh Ki Dukuh Dami. Lama Ida Dalem Tarukan tinggal di Padukuhan Bunga sampai punya putra dan putri tujuh orang dari istri yang berbeda yaitu:

1.I Gusti Gde Sekar dan I Gusti Gde Pulasari (Ibunya bernama Gusti Ayu Kwaji putri dari Ki Gusti Poh Tegeh)
2.I Gusti Gde Bandem (Ibunya bernama Jero Sekar putri dari Dukuh Bunga)
3.I Gusti Gde Dangin (Ibunya bernama Jero Dangin putri dari Dukuh Darmaji)
4.I Gusti Gde Belayu (Ibunya bernama Jero Belayu putri dari Mekel Belayu)
5.I Gusti Gde Balangan dan Gusti Ayu Wanagiri (Ibunya bernama Gusti Luh Balangan Putri Gusti Agung Gelgel menjadi putri angkat Gusti Gde Bekung).
Dari padukuhan Bunga Ida Dalem Tarukan bersama anak istri kembali mengungsi menuju Desa Sekahan, Sekar Dadi, Kintamani, Panerojan (panulisan), Balingkang, Sukawana, (wilayah Bangli). Di Sukawana Ida Dalem Tarukan bertemu dengan Dukuh Darmaji yang membawa takilan beras. Oleh karena semua putranya sangat lapar maka Ida Dalem Tarukan meminta beras dalam takilan tersebut untuk diberikan kepada putra beliau. Setelah beras tersebut dimakan, Gusti Ayu Wanagiri sakit perut sampai beliau meninggal. Melihat kejadian ini Ida Dalem Tarukan sangat marah dan menendang takilan beras tersebut sambil mengutuk beras tersebut supaya tumbuh menjadi haa beras dan seketurunannya tidak boleh makan beras. Lalu Gusti Ayu Wanagiri dikubur di Sukawana mengarah kebarat. Kemudian Ida Dalem Tarukan mengungsi ke Desa Panek, Desa Ban, Desa Temakung, Desa Cerucut, Paduning Samudra (Desa Sukadana) semuanya wilayah Karangasem. Di Paduning Samudra ini Ida Dalem Tarukan banyak menerima harta benda dari masyarakat dipegunungan membuat hidup Ida Dalem Tarukan berkecukupan sehingga Paduning Samudra ini dinamai Desa Sukadana. Saat Ida Dalem Tarukan di Sukadana Ida Dalem ingat dengan Gusti Ayu Wanagiri yang meninggal di Sukawana, lalu di aben di Sukawana dibuatkan Bade Tumpang Pitu, Patulangan Gajah Mina maulu kepascima. Atma suci beliau di sthanakan di puncak Bukit Mangu karangasem.
Rupanya Ida Dalem Tarukan selalu ingat dengan istri yang ditinggalkan di Puri Tarukan sedang hamil dan membayangkan putra yang lahir sudah menjadi dewasa. Akhirnya Ida Dalem meninggalkan Sukadana diiring oleh para dukuh menuju Desa Poh Tegeh. Kepada  I Gusti Poh Tegeh (mertuanya) Ida Dalem Tarukan menyampaikan keinginannya untuk kembali ke panegaran. Lalu Ida Dalem Tarukan pergi kearah barat menuju desa (wilayah) Tembuku Bangli. Dari sini Ida Dalem Tarukan memperkirakan/menganalisa (memarna) marahnya Ida dalem Ketut Ngulesir sudah hilang kemudian desa ini diberi nama Desa Sidaparna. Tidak lama Ida dalem Tarukan tinggal di Desa Sidaparna. Dari Desa Sidaparna Ida Dalem Tarukan kembali mengungsi menuju Wetaning Giri Panida. Di Wetaning Giri Panida inilah Ida Dalem Tarukan bersama keluarga cocok untuk tinggal menetap, lalu membangun sebuah puri yang dilengkapi dengan merajan  sebagai huluning karang. Tempat Wetaning Giri Panida ini oleh Ida Dalem Tarukan dinamai Dusun Pulasantun. Sebagai alasannya adalah untuk mengingat tempat putra putrinya yang lahir di Desa Tegal Bunga (jenggala sekar). Dusun Pulasantun tersebut sampai sekarang sudah terkenal dengan nama Dusun Pulasari, Bangli. Disini beliau hidup dengan bercocok tanam palawija. Diceritakan dari istri yang ditinggal saat mengungsi sedang hamil 6 bulan telah lahir seorang putra sudah dewasa rupawan gagah perkasa diberi nama I Dewa Gde Muter, selalu mencari tahu tentang keberadaan ayah beliau. Akhirnya atas ceritra dan petunjuk para pengasuh maka I Dewa Gde Muter pergi menuju pedesaan untuk bertemu dengan ayah beliau. Diceritakan Ida Dalem Tarukan sedang membajak sawah, I Dewa Gde Muter datang memandangi dan mengamati orang yang sedang membajak tersebut. Akhirnya lama mereka saling pandang, sapi penarik bajak lalu tunggang langgang yang membuat Ida Dalem Murka. Kemurkaan tersebut mengakibatkan mereka berdua perang tanding cukup lama tanpa ada yang kalah. Dalam situasi itu tanpa sengaja I Dewa Gde Muter mengucapkan kata-kata yang menunjukkan identitasnya. Setelah tahu identitas orang yang dihadapi betapa kagetnya Ida Dalem karena yang dilawannya ternyata putra sendiri yang sedang dirindukan. Seketika beliau memeluk putranya sambil menangis terharu, timbul rasa penyesalan lalu berdua saling memaafkan. Akhirnya Ida Dalem member nama putranya I Dewa Bagus Darma kemudian dipertemukan dengan adik-adiknya semua. Karena semua putra sudah berkumpul Ida Dalem sudah merasa tenang dan kehidupan di Pulasantun berkecukupan maka beliau tidak berniat lagi untuk kembali ke Puri. Beliau menyarankan kepada putranya untuk tetap tinggal bersama dipedusunan jangan lagi pulang ke panegaran. Nasehat ini sangat dihormati dan dipatuhi oleh putra-putra Dalem semua.
Diriwayatkan sejak muda Ida Dalem Tarukan tidak berminat pada kekuasaan (pemerintahan) beliau lebih tertarik dan menekuni ajaran kedhyatmikan/kerokhanian. Oleh kebanyakan orang hal ini dipandang aneh. Selama perjalanan pengungsian disamping terus menekuni kedhyatmikan beliau juga mengisi waktu dengan bertani dan berkebun. Setelah menetap tinggal di Pulasantun kehidupan spiritualitas beliau mencapai puncaknya beliau melaksanakan kebujanggaan, tempat beliau menjadi pusat patirtaan untuk masyarakat pedusunan dan pegunungan. Menjelang Ida Dalem wafat, Ida memberi pewarah-warah, panugrahann, dan sloka sruti kamoksan kepada putra-putra beliau dan para dukuh semua. Ida Dalem Tarukan wafat pada hari Wraspati Keliwon ukir, Kresna Paksa, Saptami Warsa Isaka Dewa Netra Tri Tunggal (Isaka 1321/1399 M). di upacarai seperti raja dipuja dengan sloka gegaduhan yang dianugerahkan oleh Ida dalem. Upacara palebon dan seterusnya dipuput oleh Ki Dukuh Bunga, Ki Dukuh Pantunan, Dukuh Jati Tuhu, menggunakan sloka sruti panugrahan Ida Dalem Tarukan. Jenasah beliau dibakar di Cungkub (wilayah) Tampuagan. Abunya di hanyut ke tukad Congkang, bablonyohe yang berada pada kelapa gading dipendem di Cungkub Tampuagan lalu kabiakta Ida Dalem Tarukan malingga “Ida I Ratu Dalem Tampuagan”.  Palebonnya Ida Dalem Tarukan pada hari Saniscara Paing, Wuku Warigadean, Kresna Paksa Pancami, Sasih Jesta, Rah Tunggal, Tenggek kalih, Isaka 1321 (1399).
Sebulan kemudian dilaksanakan upacara ngeroras di Pulasari kemudian dilanjutkan dengan upacara ngelinggihang/dinarma Dewa hyang (atma pratista) di Dusun Pulasari. Ida Dalem Tarukan distanakan pada Meru Tumpang Pitu. Setelah semua upacara selesai banyak berupa makanan beras, lungsuran basi sampai rusak (berek) karena tidak habis dimakan oleh masyarakat. Juga berupa uang kepeng menggumpal sukar dilepas sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Disarankan oleh I Dewa Bagus Darma dan adik-adiknya semua beras, makanan, dan uang kepeng yang tidak bisa dimanfaatkan supaya dihanyut (dibuang) ke kali. Yang berupa beras dan makanan dihanyut di kali sebelah barat Dusun Pulasari dan yang berupa uang kepeng dihanyut di kali sebelah timur Dusun Pulasari. Itulah sebabnya sampai sekarang ada tukad Bubuh disebelah barat Pulasari (kalau dihilir dapat dilalui jembatan dipatung gajah Banjar Angkan),  Tukad Jinah disebelah timur Dusun Pulasari dihilir dapat dilalui jembatan sebelah barat SMA Klungkung. Dengan dihanyutkannya sisa-sisa upacara tersebut sampai kehilir sungai, hal ini menjadi berita heboh sehingga beritanya sampai kepada Ida Dalem Ketut Ngulesir di Puri Gelgel.     
Mendengar berita tersebut Ida Dalem Ketut Ngulesir mengirim utusan agar semua keponakan Ida mau tinggal di Puri Gelgel. Namun semua putra Ida Bhatara Dalem Tarukan tidak memenuhi permintaan Dalem Gelgel putra Dalem memegang nasihat Ajinya agar tidak kembali kepanagaran. Mungkin terjadi miss informasi dianggap para keponakannya menentang sehingga Ida Dalem Ketut Ngulesir murka, maka diseranglah putran Ida Dalem Tarukan ke pulasari dipimpin oleh Gusti Kebon Tubuh. Sebelum menyarang ke Pulasari, Gusti Kebon Tubuh beserta bala tentaranya beristirahat (mejanggelan) disebuah desa yang selanjutnya desa tersebut diberi nama Desa Nyangglan wilayah Banjarangkan Klungkung untuk mengatur strategi perang. Dalam perang besar tersebut I Dewa Bagus Darma direbut dipasangi upas sehingga mengalami kekalahan dan wafat di Siang Kangin (Hyang Pupuh) Bangkiangsidem. Setelah I Dewa Bagus Darma wafat akhirnya semua adik-adiknya ditemani oleh ibunya mau datang ke Puri Gelgel sedangkan I Gusti Gde Dangin dan I Gusti Gde Balangan pergi ke Buleleng dan akhirnya menetap di Sudaji. Sebagai catatan: setelah karya agung di pura Puri Agung Pejeng tanggal 27 maret 1996 atas kesepakatan pengempon Linggih Ida Bhatara Putra di Sudaji dengan Semeton PGSDT Bangli maka Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Balangan dilinggihkan di pura Pulasari Bebalang Bangli. Mulai saat itulah pura di dusun Bebalang Bangli diberi nama Pura I Gusti Gde Balangan. Pura ini dibangun pada tahun 1994.
Setelah semua putra Ida Dalem Tarukan berkumpul di Puri Gelgel maka Ida Dalem Ketut Ngulesir memberikan panugrahan mantra sasana yang pada intinya berisi sebagai berikut:
1.I Gusti Gde Sekar ditempatkan di Banjar Sekar Nongan bersama ibunya I Gusti Luh Kwaji dan diberikan tanah sebanyak 15 sikut.
2.I Gusti Gde Pulasari ditugaskan kembali ke Pulasari ngerajegang Puri (Ajinya) Ayahandanya.
3.I Gusti Gde Bandem ditempatkan ke Dukuh Nagasari Bandem.
4.I Gusti Gde Dangin dan I Gusti Gde Balangan pergi ke Buleleng menuju desa Sudaji. Namun setelah karya agung di Pura Puri Agung Pejeng tanggal 27 Maret 1996 atas kesepakatan semeton, Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Balangan di stanakan di Pura Pulasari Bebalang Bangli. Mulai saat itulah pura di Dusun Bebalang diberi nama Pura I Gusti Gde Balangan.
Setelah I Gusti Gde Pulasari wafat juga dilaksanakan upacara pitra yadnya, ngeroras dan roh sucinya didharmakan berdampingan dengan linggih Ida Bhatara Dalem Tarukan di Gedong Pajenengan. Upacara menstanakan Dewa Hyang I Gusti Gde Pulasari dilaksanakan sekitar pertengahan abad ke 15 (1450 M). mulai saat itulah di Pulasari ada dua palebahan, Pura Palebahan duhuran pura Padharman Ida Bhatara Dalem Tarukan (Pura Kawitan Para Gotra Sentana Dalem Tarukan), stana Ida Bhatara Dalem Tarukan pada Meru Tumpang Pitu, piodalan setiap Buda Keliwon Ugu. Di Palebahan andapan pura Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Pulasari di stanakan di gedong Pajenengan, piodalannya setiap Tumpek Krulut. Namun karena beberapa pemikiran semenjam Mahasaba I atas kesepakatan dan panugrahan niskala maka pujawali di kedua palebahan pura ini disatukan menjadi setiap Buda Keliwon Ugu. Namun Pakandel yang mengemban mantri sasana dari Raja Gelgel setiap Tumpek Krulut tetap melaksanakan piodalan alit sebagai peringatan sejarah melanjutkan warisan leluhur pakandel. Karena semakin berkembang dan makin mantapnya kesadaran santanan Ida Bhatara Dalem untuk tangkil ke pura maka tempat untuk sembahyang menjadi terasa sempit, dan pada saat karya Padudusan Agung, Buda Kliwon Ugu nemu purnama tahun 1995 terjadi sembahyang saling berdesakan. Sehingga akhirnya atas kesepakatan pakandel dan pengurus PGSDT maka tahun 1996 tembok penyengker penyekat antara palebahan pura duhuran dan palebahan pura andapan dicapuh dijadikan satu. Namun perbedaan ketinggian natar tampak seperti sekarang menjadi utama mandala duhuran dan utama mandala andapan. Mengingat Pura Padharman di Pulasari merupakan stana Ida Bhatara Dalem Tarukan di utama mandala duhuran dan stana Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Pulasari di utama mandala andapan telah menjadi satu dan untuk linggih Ida Bhatara Putra yang lain sudah ada Pelinggih Gedong Rong Kalih berdampingan dengan Meru Tumpang Pitu, maka Pura Padharman tersebut dinamakan Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan lan Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Pulasari. 

2.1.1Hubungannya Dengan Padharman Dalem Besakih  
Padharman Dalem di Besakih merupakan Padharman satrehan Ida Bhatara Lingsir Sri Aji Dalem Kresna Kepakisan. Ida Bhatara Dalem Tarukan merupakan salah satu putra dari Sri Aji Dalem Kresna Kepakisan maka seketurunan Ida Bhatara Dalem Tarukan patut melaksanakan persembahyangan di Pedharman Dalem di Besakih.




2.2. Pengertian Merajan
Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar= tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja= keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan.
Merajan atau Sanggah dalam sebuah keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci, yang berdasarkan konsep Tri Angga, Tri mandala, dan juga tri hita karana. Merupakan sebuah tempat untuk memuja Tuhan dan juga roh leluhur. Dasar dari Tri Angga, Merajan atau Sanggah adalah sebuah tempat utama seperti ibaratnya kepala manusia. Genah madyanya adalah rumah itu sendiri yang ibaratkan badan manusia, nista angganya adalah perkebunan atau pekarangan itu sendiri, dan juga tempat mandi itu juga seperti badan kita sendiri. Tri Angga itulah yang tidak boleh pisah dari stuktur badan manusia, seperti kepala, badan dan juga kaki.
Dasar Tri Mandala itu sendiri adalah Merajan sebagai utamanya, sedangkan keluarga adalah Madyanya, dan nistanya adalah pekarangan itu sendiri. Jika tempat suci mesti mengikuti sebuah aturan dimana arahnya adalah timur ataupun utara. Kajakangin, timur laut. Jika arah timur laut dianggap kurang memadai untuk sebuah bangunan suci, karena alasan seperti tempatnya agak pendek, dihujani cucuran air tetangga, dan juga terdapat sebuah tempat yang kurang enak dalam segi kebersihan, maka tempat tersebut dapat ditinggikan menjadi Merajan.
Dasar Tri Hita Karana juga berbicara dalam merajan ini. Merajan adalah sebuah tempat dimana prahayngan tempat untuk memuja Tuhan dan juga Roh leluhur menjadi satu. Selain dari satu keselarasan antara orang yang tinggal dan lingkungannya, juga diperlukan sebuah tempat untuk melakukan sebuah sinergisme ke atas yang dalam hal ini berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi dapat dikatakan bahwa Merajan adalah sebuah tempat suci yang berada di setiap lingkungan keluarga untuk memuja kebesaran Tuhan dan juga roh leluhur.



Menurut bentuknya Sanggah Pamerajan, ada tiga versi:
1.Yang dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan (Trimurti), maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/ Padmasari.
2.Yang dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta (Tripurusha), maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/ Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala.
3.Kombinasi keduanya, biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di ‘hulu’, namun di sebelahnya ada pelinggih Kemulan.

Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.
Tripurusha, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.
Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi 3 yaitu:
a.Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil).
b.Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ (garis keturunan).
c.Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama).
Pelinggih di Sanggah Pamerajan:
a.Sanggah Pamerajan Alit;
Padmasari
Kemulan Rong Tiga
Taksu
b.Sanggah Pamerajan Dadia;
Padmasana
Kemulan Rong Tiga
Limas Cari
Limas Catu
Manjangan Saluang
Pangrurah
Saptapetala
Taksu
Raja Dewata
c.Sanggah Pamerajan Panti;
Sanggah Pamerajan Dadia ditambah dengan Meru atau Gedong palinggih Bhatara Kawitan.
Palinggih-palinggih lainnya yang tidak teridentifikasi seperti tersebut di atas, disebut ‘pelinggih wewidian’ yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura lain, misalnya dari Pura Pulaki, Penataran Ped, Bukit Sinunggal, dll, maka dibuatkanlah pelinggih khusus berbentuk limas atau sekepat sari.
Pada beberapa Sanggah Pamerajan sering dijumpai pelinggih wewidian ini jumlahnya puluhan, berjejer. Namun disayangkan karena leluhur kita di masa lampau terkadang lupa menuliskan riwayat hidup beliau, sehingga keturunannya sekarang banyak yang tidak tahu, pelinggih apa saja yang ada di Sanggah Pamerajannya.











2.3.Fungsi dan Makna Pelinggih
Pelinggih-pelinggih umum yang terdapat di Sanggah Pamerajan adalah stana dalam niyasa Sanghyang Widhi dan roh leluhur yang dipuja :
1.Kemulan rong tiga


Bentuk bangunan Rong Tiga pada umumnya sama seperti Gedong, yakni empat persegi panjang. Bangunan ini terdiri dari tiga bagian yaitu, dasar pada umumnya terbuat dari batu padas (bahan lain yang keras), diatas dasar masih terdapat 4 atau 8 buah tiang sebagai kaki bangunan (bila 8 tiang, biasanya tiang bagian depan di tengah-tengah adalah tiang semu sebanyak dua buah), badan bangunan agak keatas sama halnya seperti tiang terbuat dari kayu dengan tiga buah ruangan menghadap kedepan (rong tiga atau ruang tiga) sedang bagian atasnya terbuat dari konstruksi kayu dengan atap ijuk, alang-alang atau bahan lainnya, yang bentuknya seperti bangunan rumah.Rong Tiga ini sebagai tempat pemujaan yang terdapat pada setiap rumah tangga (keluarga). Fungsinya untuk memuja roh leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Brahman Visnu dan Siva. Menurut seminar kesatuan tafsir tahun 1984, Fungsi sanggah kemulan adalah untuk Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma (berstana diruang kanan), Wisnu (berstana diruang kiri), Siwa (berstana diruang tengah) atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Ada juga kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Ardanareswari), rong 4 (Catur Dewata), rong 5 (Panca Dewata). (Nurkancana, 1997:139 dan Wikarma, 1998:2).
Menurut Lontar Gong Besi, Usana Dewa dan Tattwa kepatian, yang berstana di kemulan Rong Tiga adalah Sanghyang Tri Atma. Atma yang diidentikkan dengan ayah (purusa) di ruang kanan, Siwatma yang diidentikkan dengan Ibu (pradana) di ruang kiri, dan Paramatma Tuhan yang tunggal di tengah.  





   
2.Padmasari/Padmasana


Padmasana, kata padmasana berasal dari kata padma yang artinya : Teratai merah dan asana artinya tempat duduk, jadi padmasana berarti tempat duduk dari teratai berwarna merah. Yang di maksud adalah sthana suci Tuhan Yang Maha Esa. Pada arca dewa-dewa senantiasa dijumpai ukiran padma pada lapik atau dasar (tempat duduk atau berdirinya)arca. Dalam bentuk bangunan terdiri dari tiga bagian yaitu: dasar, badan dan puncak. Pada puncak biasanya terdapat “Singashana” (berbentuk kursi). Padmasana yang bentuknya sederhana tidak lengkap disebut padmasari bahkan yang lebih sederhana lagi disebut padmacapah. Padmasana yang lengkap pada bagian dasar terdapat ukiran (arca) berwujud bedavangnala (empas/kuara-kura) yang dibelit oleh dua atau seekor naga, yang mengikat antara empas dengan dasar dari bangunan padmasana itu. Pada bagian badan (tengah biasanya terdapat arca dewa-dewa astadikalpa (dewa-deewa penjaga kiblat arah angin yaitu: dewa isvara(timur), Brahma (selatan) mahadewa (barat) Visnu (utara), Mahesvara (tenggara) Rudra( Barat daya) sankara (barat laut) dan Sambhu (Timur Laut) Maasing-masing devata ini membawa senjata sesuai degan atributnya. Pada bagian puncak, sebagai telah disebutkan di atas terdapat singhasana (seperti kursi) yang pada bagian belakangnya terdapat ulon. Pada ulon (bagian belakang tengah Singhasana) biasanya terdapat lukisan “Sang Hyang Acintya” atau disebut juga Sang Hyang Taya. Dilihat dari sikap tari Sang Hyang Acintya tersebut mengingatkan sikap tari dari dewa Siva yang disebut Siva Natyaraja dalam menciptakan alam semesta. Bahan bangunan umumnya terbuat dari batu padas, kadang-kadang dari batu karang laut (putih) ataupun dari batu lahar (gunung agung). Dalam bentuknya yang sederhana terbuat dari pasir semen (beton pc), tidak ada mempergunakan kayu. Adapun fungsi bangunan dan pelinggih Padmasana adalah untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atau manifestasinya. Tidak ada padmasana untuk pemujaan roh suci leluhur (Atmasiddhadevata). Di besakih bangunan padmasana berjejer tiga berdiri pada sebuah dasar sesuai dengan lontar Padmabhuana, yang dilinggasthanakan pada padma itu adalah: Paramasiva (tengah), sadasiva (kanan), dan Sang Hyang Siva (Kiri). Demikianlah bangunan pelinggih padmasana tersebar pada sebagian pura di Bali dan juga hampir semua pura di luar bali memakai padmasana sebagai pelinggih utama. Dapat pula ditambahkan bahwa kadang-kadang pada bagian belakang bangunan padmasana dipahatkanukiran burung Garuda yang mendukng dewa Visnu yang membawa Amrta sedang pada bagian atasnya kadang-kadang di pahatkan pula ukiran angsa yang sedang mengepak-epakkan sayapnya. Ukiran atau relief naga,empas, garuda dan dewa wisnu membawa amrta adalah pelaku utama dalam seritera samudra Mahathana (dalam adiparva) yang melukiskan perebutan atau usaha pencarian amrta (air kehidupan) antara para dewa dan raksasa dengan kemenangan berada di pihak para dewa. Sedang angsa yang sedang mengepakkan sayap adalah lukisan Omkara, Brahman atau Atman.
Pelinggih ini tempat pemujaan Hyang Siwa Raditya (Hyang Widhi Wasa). Hal ini ditandai dengan bagian atasnya dibuat terbuka dan pada tabingnya mahkota dipahatkan luisan gambar Hyang Acintya. Fungsi: Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa-  Sada Siwa – Parama Siwa.
Mantra: Ah Ing Ang Tri Upasadanayabhyao namah swaha,
      Ong sri sri dewa jagatnatha kusumajati sarwa sastra gana tat ya.
 Ong Anattiya manittya maitri wakra mahati bhukti ya namah swaha.            (padmasana)
                       Ong ong surya dewa suksema dewatam, sarwa dewa lokanam sidhhi               bhoktaram namo     namah. (padmasari)

3.Limas Sari



Pelinggih ini merupakan stana Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sedana atau Limas catu yaitu sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia. Fungsi: Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai ardanareswari : pradana – purusha, rwa bhineda.
Mantra: Ong Ang Geng Genijaya ya namah Ong Ang dewa dewi maha siddhi,
Sarwa karya siddha tuwi siddhaya dirghayu namah swaha.

4.Limas Catu



Fungsi: Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai ardanareswari : pradana – purusha, rwa bhineda.
Mantra: Di SangHyang Ardhanareswari.
Om Nama dewa adhisthananya,
Sarwa wyapi wai siwaya,
Padmasana ekapratisthaya,
Ardhanareswaryai namo namah.





5.Menjangan Saka Luang/ Manjangan Saluwang



Manjangan Sakaluang adalah sebuah bangunan suci berbentuk gedong dengan satu ruang terbuka, yang ditengah-tengah bagian depan terdapat satu tiang, di depannya ditempatkan kepala menjangan, kadang-kadang tubuh menjangan dipakai menyangga tiang, lengkap dengan kepalanya, namun ada juga menempatkan patung binatang menjangan utuh dan bangunannya tidak memakai satu tiang pada bagian depannya.
Bangunan suci manjangan sakaluang dibuat untuk menghormati  jasa tokh spiritual yang juga sekaligus sebagai seorang perdana menteri pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa yang sangat popular di Bali pada abad ke-11. Tokoh tersebut adalah mpu rajakrta yang datang kebali dan di beri jabatan Mahasenepati iKuturan, kemudian beliau lebih populer dikenal dengan nama Mpu Kuturan. Mpu rajakrta seperti halnya para rsi agung lainnya di bali dihormati oleh semua lapisan masyarakat, oleh karenanya hampir di semua jenis pura keluarga besar, selalu terdapat bangunan manjangan Sakaluang.
Mantra: Ong Ang Mang Dewi dimuerti bhuawana triyo, pratisthabhyo samudra jagat gurubhyo namah swaha, Ong ah sukla dewi maha laksmi sri giripati sukla pawitrani swaha.


6.Pesaren sari / Kemulan Rong Dua


Bangunan suci yang beruang dua tempat memuja leluhur dalam wujud purusa dan pradana. Fungsi: Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma – Wisnu – Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Ada juga kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Ardanareswari), rong 4 (Catur Dewata), rong 5 (Panca Dewata).


7.Taksu



Taksu berarti daya Magic atau sakti. Sakti adalah symbol dari pada Bala atau kekuatan (Swastika, 2007:19). Fungsi:untuk memohon kekuatan gaib untuk pekerjaan yang digeluti bagi siapa yang memberikan pelinggih tersebut. Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan. Pelinggih taksu kadang-kadang disebut juga “pecelang” yang khusus menerima, mengatur dan menempatkan para dewa yang dianggap sebagai tamu yang turut menyaksikan jalannya upacara pujawali.
Mantra: Ong Ang ah Mahadewi jagatpati ya namo namah swaha.
Ong Ung Prajapatiya Namah,
Ong Mang Mataya Namah,
Ong Tang Prapitaya namah,
Ong Ing Prapitaya Namah,   
Ong Mang Mataya Namah,
Ong Ing Paramataya Namah.

8.Bhatara Sami
           



    


Pelinggih yang berjejer dari kiri ke kanan kesemuanya itu dinamakan Bhatara Sami. Bhatara Sami yang disebut dengan Sanggah Jajaran Kemiri. Dua pelinggih yang didamping pelinggih Surya yang berbentuk Padmasana itu yang disebut dengan bagian dari Sanggah Jajaran Kemiri. Padmasana adalah tempat berstananya Bhatara Surya (Sekte Sora). Untuk sebelahnya taksu dinamakan pelinggih Pura Segara, kemudian disampingnya Pura Gunung Sekar, Pura Bulian, Pura Pucak Tangkid, Pura Pucak Tajun, Pura Yeh Lembu.

9.Balai paruman
   
Balai ini merupakan stana Bhatara dan Bhatari ketika dipersembahkan piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagai bale piasan (pahyasan) karena pralingga-pralingga dihiasi ketika dilinggihkan disini.






10.Pelinggih Hyang Kompyang

Mengenai Palinggih Hyang Kompiang dapat diuraikan sebagai berikut: Palinggih Hyang Kompiang merupakan fenomena baru dalam perkembangan Agama Hindu di Bali yang dimulai sekitar tahun 1970, yaitu beberapa tahun kemudian setelah diadakannya Karya Agung Eka Dasa Rudra (1963) di Pura Besakih.
Ketika itu sebelum Karya, diwajibkan untuk “membersihkan” setra, sehingga pemeluk Hindu ramai-ramai ngaben. Upacara pengabenan dilanjutkan dengan nuntun Dewa Hyang/ Hyang Kompiang ke Pura Dalem Puri di Besakih.
Setelah nuntun lalu Dewa Hyang distanakan di Sanggah Pamerajan pada suatu bentuk bangunan gedong limas; palinggih itu dinamakan Palinggih Hyang Kompiang atau Palinggih Dewa Hyang. Tempatnya berbeda-beda, ada yang di jeroan Sanggah Pamerajan, ada pula yang di jabaan Sanggah Pamerajan. Sumber sastra mengenai Palinggih Dewa Hyang ini tidak ditemukan.
BAB III
PENUTUP

3.1.Simpulan
Adapun kesimpulan dari penulisan makalah ini adalalah Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut dengan sanggah atau merajan yang juga disebut kemulan taksu, sedangkan tempat pemujaan keluarga besar luas disebut dengan Sanggah Gede atau pemerajan agung, Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadya) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadya. Anggota kelompok kerabat tersebut mempuyai ikatan tempat pemujaan yang disebut pura paibon atau pura panti. Perlu diketahui bahwa pada umumnya tiap-tiap Sanggah Pamerajan, Panti, Paibon, Dadia, Kawitan, bahkan Pura Pedarmaan tidak sama baik jumlah/ susunan palinggih, maupun Ida Bethara yang di-stana-kan, karena masing-masing mengikuti sejarah leluhurnya dahulu.
Mengenai asal satu waris dan hubungan ke-cuntaka-an atau saling sumbah pada umumnya sudah sulit ditemukan dalam tingkatan Kawitan, karena demikian panjangnya silsilah leluhur yang melewati batas waktu dalam hitungan abad (ratusan tahun).
3.2. Saran
Adapun saran dari penulisan makalah ini diharapkan bagi para umat Hindu yang ada dibali seyogyanya bisa mengetahui asal usul dari assal mula pemerajan atau sanggah leluhurnya yang dianut sampai sekarang ini guna untuk bisa mempertahankan sistem religius bagi keturunan kelak dimasa yang akan datang. Di samping itu perlu juga di tekankan bagi para generasi penerus agar bisa memberikan pengetahuan yang sedemikian rupa terhadap saudara-saudara yang memang awam tentang masalah merajan serta memberikan penjelasan tentang asal-usul yang sebenarnya. Dan diharapkan pula bagi para pembaca makalah ini jika masih ada kekurangan dalam penelitian merajan ini mohon di tambahkan lagi untuk dapat mendekati kesempurnaan.








DAFTAR PUSTAKA

Prawartaka Karya Agung. Intisari Babad Dalem Tarukan.
Pulasari Mangku Jro. 2009. Dinasti Sri Aji Kresna Kepakisan. Babad Dalem Tarukan. Lan Bisama Ida Bhatara Dalem Tarukan. Paramita : Surabaya.
Gunawan Pasek. 2012. Bahan Ajar Sivasiddhanta II.
Adnyana Mider I Nyoman.2012. Arti Dan Fungsi  Banten sebagai Sarana Persembahyangan. PT Offest BP : Denpasar.
Anom Bagus Ida.2009. Tentang Pembangunan Merajan. CV KAYUMAS AGUNG : Denpasar.
Pulasari Mangku Jro. 2012. Cakepan Alit Puja Weda Mantra. Paramita : Surabaya.http://luhayulestarigen.blogspot.com/2014/01/babad-ida-dalem-tarukan-pulasari-siva.html