Sejarah Bali
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
|
Bantulah memperbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak.
Artikel yang tidak dapat diverifikasikan dapat dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. |
Sejarah Bali meliputi rentang waktu perkembangan kebudayaan masyarakat Bali. Sejarah Bali juga terkait dengan beberapa
mitologi dan
cerita rakyat, yang ada kaitannya dengan sejarah sebuah tempat atau peristiwa yang pernah ada di Bali.
Masa Prasejarah
Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali,
yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum
mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal
tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti
tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan
kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang
cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang
sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.
Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra
Indonesia
maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian
terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis
bernama
Georg Eberhard Rumpf, pada tahun
1705 yang dimuat dalam bukunya
Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah
W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun
1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan antara lain tentang
nekara Pejeng,
Trunyan, dan
Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun
1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba,
Tegallalang.
Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr.
H.A.R. van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul
Sarcopagus on Bali tahun
1954. Pada tahun
1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun
1973,
1974,
1984,
1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai
Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi
Situs Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari
zaman perundagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah
museum.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali,
kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali
dapat dibagi menjadi :
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
- Masa bercocok tanam
- Masa perundagian
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
Kehidupan penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya
tergantung pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu
tempat ketempat lainnya (nomaden). Daerah-daerah yang dipilihnya ialah
daerah yang mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk
menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh kelompok
kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum
laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk
menghadapi segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas
untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan
dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti
apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur
satu sama lainnya.
Walaupun bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan di
Pacitan (
Jawa Timur)
dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa
alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan
dengan alat-alat batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia.
Pithecanthropus erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis
Pithecanthropus atau keturunannya.
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih
berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam
sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu,
tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada
masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding,
Pecatu (
Badung). Gua ini terletak di pegunungan
gamping di
Semenanjung Benoa.
Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah Gua Karang Boma,
tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang
pernah berlangsung disana. Dalam penggalian Gua Selonding ditemukan
alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah
alat-alat dari
tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan.
Alat-alat semacam ini ditemukan pula di sejumlah gua
Sulawesi Selatan pada tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di
Australia Timur.
Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua, yang menggambarkan
kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu.
Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dinding-dinding karang itu antara
lain yang berupa cap-cap tangan,
babi rusa,
burung, manusia,
perahu,
lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya. Beberapa lukisan lainnya
ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih kemudian dan artinya
menjadi lebih terang juga di antaranya adalah
lukisan kadal seperti yang terdapat di
Pulau Seram dan
Papua, mungkin mengandung arti kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau
kepala suku.
Masa bercocok tanam
Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin
dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam
sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini
beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah
cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing).
Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya
yang sangat mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.
Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa
kapak batu persegi
dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori
Kern dan teori Von Heine-Geldern diketahui bahwa nenek moyang bangsa
Austronesia, yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada
zaman neolithik.
Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang
penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya
terutama terdapat di bagian barat Indonesia dan
kapak lonjong
yang penyebarannya melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya
merata dibagian timur negara kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak
persegi) adalah bangsa Austronesia dan gelombang perpindahan pertama
tadi disusul dengan perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada
masa perunggu kira-kira 500 S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke
Asia Tenggara
khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang terkenal pada masa
ini. Pada masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar
menukar barang (
barter)
yang diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan
adanya bahasa. Para ahli berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa
ini adalah Melayu Polinesia atau dikenal dengan sebagai bahasa
Austronesia.
Masa perundagian
Gong, yang ditemukan pula di berbagai tempat di
Nusantara, merupakan alat musik yang diperkirakan berakar dari masa perundagian.
Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam
kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang
dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan
peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya
upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang
sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui
dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang
terpenting di antaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (
Banten),
Puger (
Jawa Timur),
Gilimanuk (Bali) dan Melolo (
Sumbawa).
Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri
manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang
ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat
pada gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit
gigi dan encok yang banyak menyerang manusia ketika itu.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa
dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi
penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang
pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang
dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya
ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti
ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (
Jembrana).
Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian di
antaranya terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan
anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan
dengan tempayan ditemukan juga di
Anyar (Banten),
Sabbang (Sulawesi Selatan),
Selayar,
Rote dan Melolo (
Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di
Filipina,
Thailand,
Jepang dan
Korea.
Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan
bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya
tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk
mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih
tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini.
Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (
menhir)
yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in
terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri
yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4
meter. Temuan lainnya ialah di Sembiran (
Buleleng),
yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan
Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada
pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah
pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada
umumnya dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras
berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan
susunan batu kali.
Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di
Gelgel (
Klungkung).Temuan
yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di
Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan
penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang
penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan
kepada masyarakat.